Saturday, October 24, 2015

Bu Rawan

Apa yang terlintas dalam pikiran anda ketika mendengar kata rawan atau bu rawan? Rawan dalam bahasa Indonesia dapat diartikan bahaya mengintip. Kan kan kan. Jadi apakah bu rawan jadi artinya ibu-ibu yang rawan alias yang bahaya? Hohoho

Bu Rawan, itulah salah satu panggilanku di sekolah tempatku mengajar sebagai pendidik SM-3T. Pada mulanya aku ga ngeh dengan arti dari panggilan itu. Ku pikir hanya anak-anak iseng yang bercanda dengan teman-temannya. Rupanya oh rupanya ternyata Bu Rawan adalah panggilan yang diberikan Usin anakku kepadaku. Bermula dari si Usin inilah, akhirnya seluruh siswa laki-laki kelas X IPS memanggilku dengan sebutan bu Rawan.

Penampakan si Usin paling depan pake baju olahrag, pencetus "Bu Rawan"
( doc. pribadi )

Dan taukah arti rawan disini?? Jangan terkejut ya. Rawan dalam bahasa Gayo sama artinya dengan lajang alias bujangan. Yup 100 persen betul rawan adalah panggilan untuk anak laki-laki yang belum menikah. Catat!! Panggilan untuk  LAKI-LAKI. Oh my to the God pisan lah. Menyedihkan, hahaha.

Singkat cerita, panggilan itu bermula dari si Usin yang kebetulan melihatku sedang mengendarai si Mexi (nama sepeda motorku). Si Mexi ini walaupun motor bebek memang terlihat gagah dan ganteng, bisa dibilang motor bebeknya cowok. Katanya “Ibu tu naik keretanya kaya cowok” (Gayo: Kereta = Sepeda motor) sambil mempraktekkan caraku mengendarai si Mexi. Ekspresinya itu lho, lucuuu, mau marahpun jadi ga bisa. Alhasil ngakaklah aku dan harus pasrah dipanggil bu Rawan oleh mereka. Memang mungkin beberapa dari mereka yang memanggil dengan nama yang mengandung ejekan itu karena memang ingin mengejek, tapi aku yakin bahkan si pemberi nama pun tak bermaksud lain selain bercanda, bukan untuk mengejek.

Anggap saja panggilan sayang dari mereka, kelas “setan-setan kecil”. Kelas “setan-setan kecil” adalah sebutan salah seorang guru kepada mereka karena tingkah polahnya luar biasa dahsyat Alllohuakbar lah pokoknya mah. Belum genap tiga bulan disini, sudah banyak panggilan sayang dari para murid untukku.

Satu yang membuatku heran, ga disana ga disini ada saja yang memanggilku dengan panggilan khas laki-laki. Hahahahaha. Hadeuh.

Kadang memang sebel dan gondok ketika mereka mulai lagi mumat jahilnya memanggil dengan panggilan Bu Rwan. Apalagi kalau panggilannya ga dijawab pasti bakal langsung ribut dengan teriakan-teriakan panggilan yang lain, rawan tanpa bu. Rasanya itu grrhh banget. Hahaha. Tapi sepertinya nanti bakal kangen banget sama panggilan-panggilan nyleneh itu.


27 November 2014
Mati lampu dengan disertai hujan
~Tanoh Gayo



And now I miss them very much
~dhe`journal

Friday, October 23, 2015

Ike Bunge


Setiap daerah tentunya mempunyai budaya dan ciri khasnya sendiri – sendiri. Budaya menjadi identitas eksistensi suatu kelompok masyarakat yang tinggal di tempat tertentu. Bahasa daerah tentu saja menjadi salah satunya. Seperti yang kita ketahui bersama, sudah banyak bahasa daerah di Indonesia yang telah punah. Tentu hal ini sangat di sayangkan, karena bahasa daerah merupakan kekayaan budaya Indonesia. Bagaimana agar bahasa daerah tidak punah? Tentu saja para putra daerah harus melestarikannya. Lagu daerah menjadi salah satu cara yang cukup efektif untuk melestarikan bahasa.

Wednesday, August 26, 2015

Ibu jangan pulang

"Pagi bu, " sapa salah seorang remaja putri berbaju sma kepada Ratika.
"Pagi sayang,.." balas Ratika
Ya memang, pagi ini di sekolah tempat Ratika mengajar selama hampir setahun ini Ratika dikerumuni anak muridnya seperti biasa. Namun, beberapa hari ini, tampak muka-muka sedih secara tersirat mulai terlihat halus di muka-muka para anak murid dan tentu saja Ratika. 
Ratika datang ke sekolah ini hampir setahun lalu, mengikuti sebuah program untuk para fresh graduate untuk mengajar di tempat terpencil seperti sekolahnya sekarang.
Selama Ratika mengajar disekolah ini, setiap pagi ketika ia datang ke sekolah selalu mendapatkan sapaan hangat dari murid-muridnya. 
"Bu, ibu kapan pulang? Bu janganlah pulang, disini aja ibu tinggal dan cari suami, ga usah pulang lagi ke jawa." kata Rina salah seorang muridnya.
"Kalau ibu pulang siapa yang akan mengajar kami lagi bu? Sekolah kami kembali seperti dulu lagi dong bu, jarang belajar." tambah Yulia muridnya yang lain.
Sedih hati Ratika mendengar celoteh anak anaknya. Sesungguhnya tentu dia pun tak mau meninggalkan mereka. Namun, apa mau dikata program yang diikutinya mengharuskan seperti itu.
" Anakku memang begini lah ujung setahun ibu disini, namun kalian tetapmakan selalu dalam hati dan jiwa ibu meski ibu harus pulang ke jawa" jawab Ratika sok tegar.
"Ibu juga akan selalu di hati dan jiwa kami".

 Flash Fiction ini ditulis untuk mengikuti program #FF2in1 dari www.nulisbuku.com di Facebook dan Twitter @nulisbuku

Thursday, May 21, 2015

Menjangkau Mimpi yang Tertinggal

Cericit burung gereja yang beterbangan di sekitar rumahku pagi ini, seperti biasa mengiringi semangatku mempersiapkan diri berangkat ke rumah sekolah walau embun dingin menjilat kulitku lembut menyisakan hawa dingin pada kulit kasarku. Tak banyak orang mengenal daerah tempat tinggalku yang masih sangat asri di kaki gunung Leuser, dimana tapal batas Taman Nasional Gunung Leuser berada tak jauh, hanya perlu 45 menit menggunakan kereta untuk mencapai tapal batas berwujud seperti cula yang tajam itu. Ah disini kami menyebut sepeda motor dengan sebutan kereta.

Jam masih menunjuk angka enam, artinya matahari masih terlalu malu pada embun untuk menampakkan diri. Badanku masih basah bekas air mandi, kukeringkan dengan cepat dan kukenakan seragam putih abu yang telah ku gosok licin semalam.

"Jeglek," suara rice cooker yang kugunakan untuk menanak nasi, menandakan beras yang kumasak tadi setelah sholat shubuh telah berubah menjadi nasi. Bergegas kuselesaikan dandanan jilbabku, lalu beranjak ke dapur mempersiapkan sarapan untuk kedua orang tuaku yang akan berangkat ke kebun nanti, aku tak akan sempat mempersiapkan lagi nanti karena aku harus segera berangkat ke sekolah. Kembali ke kamarku, mengecek ulang roster pelajaran hari ini takut ada yang tertinggal. Yakin, semua buku yang diperlukan hari ini sudah masuk dalam kantongku. Rumah sekolah tidaklah terlalu jauh dari rumahku, hanya perlu waktu lima menit menggunakan kereta. Beranjak ke kamar adikku, membantunya mempersiapkan sekolahnya.

"Malas kali berangkat ke rumah sekolah lah kak," rengek adikku. Lagu wajibnya yang harus kudengarkan hampir minimal tiga pagi dalam tujuh pagi. Aku hanya tersenyum dan mengelus kepalanya, ah dia masih saja menyanyikan lagu wajibnya itu. Tak dapat pula kusalahkan dia. 
"Berangkat terus sayang, kakak antar nanti," balasku seperti biasa. 
Tak jauh dengan keadaan sekolahku, sekolah dasar adikku ini jarang masuk guru sehingga kami terbiasa untuk tidak belajar. Aku tau bila  adikku sudah merengek pasti kemarin gurunya datang, maka kemungkinan besar hari ini pun datang dan mengajar paling tidak setengah hari. 
Ah burung, betapa beruntungnya kau punya sayap, mampu terbang kemanapun kau mau, mencari ilmu sebanyak yang kau mau, tak harus terkepung oleh ribuan bukit seperti manusia-manusia sepertiku. Sudahlah, kuhentikan lamunan keirianku pada burung, kuganti dengan sebuah do'a semoga guru kami nanti datang.

----

Teng teng teng
Lonceng berdentang tiga kali pertanda kami harus masuk kelas, tanda pelajaran akan segera dimulai. Namun, seperti biasa hanya beberapa kelas yang masuk kelas karena gurunya datang. Pagi ini hanya dua kelas yang masuk, tujuh kelas lainnya masih berkeliaran, bermain bola lah, makan di kantin lah, atau hanya sekedar duduk-duduk bergosip. Kelas kami termasuk kelas yang berkeliaran tadi, guru kami tidak datang ah belum datang, aku mencoba berfikir positif. Mungkin jalan banyak longsor sehingga guru kami terlambat. Kami diminta mencabut rumput di taman-taman sekitar kelas kami. 

Suara mobil kepala sekolah, aku sangat menghafalnya. Rasa heran memenuhi otakku, tak biasanya bapak datang hari kamis seperti sekarang. Hari kamis adalah hari dimana bapak mengurus segala macam keperluan sekolah kami di kota. Keherananku segera terjawab, mobil bapak berhenti di depan kantor, masih tidak biasa karena biasanya bapak memarkir mobilnya di tempat parkir mobil, menurunkan tiga orang tamu dengan wajah-wajah asingnya. Spontan aku bertanya kepada guru yang ada di dekat kami, "Bu, itu guru baru kita?" tanyaku antusias. 
"Iya," kata Ibu Iah singkat dengan tersenyum.
"Aaaaaaaa.......," sontak kami menjerit senang.

----ooo----

Perjalanan masih panjang, aku harus berjuang melawan seluruh keterbatasan. Keterbatasan ruang gerakku, keterbatasan pengetahuan, keterbatasan pemikiran, keterbatasan materi, keterbatasan akses, keterbatasan dukungan, keterbatasan adat, dan keterbatasan-keterbatasan lainnya. Guru baru, sebuah jalan yang diberikan Alloh untuk kami disini meruntuhkan beberapa keterbatasan untuk menjangkau mimpi-mimpi kami, mimpi-mimpiku yang masih tertinggal. Pagiku, harus semakin bersemangat bersama cericit burung gereja. Aku akan menyusulmu burung, mengepakkan sayap melihat dan mereguk ilmu sebanyak-banyaknya. 

----ooo----

sebenarnya ini sebuah harapan
harapan pada diri sendiri agar dapat menjadi guru yang baik
harapan semoga paragraf terakhir memang benar-benar terjadi dalam gulatan-gulatan pikiran mereka
selesaikanlah akhir ceritamu
ini hanya kubuatkan settingnya
~dhe
21/05/2015
memoriam peristiwa 04/09/2014