Selepas Isya'

Selepas Isya’ sudut kota Bandung di hari kemerdekaan sebuah negara bernama Indonesia. Dalam kamar kontrakan berukuran 2x4 meter itulah dia, duduk di depan laptopnya dengan khusuk sambil sesekali menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Sudah tiga hari ini dia begitu.
Mengetik, garuk kepala yang tidak gatal, mengetik kembali, tercenung sejenak, keluar sebentar ke kamar mandi untuk sekedar mandi dan buang hajat, mengetik kembali, memasak masakan kilat, makan dengan kilat lalu mengetik lagi, garuk kepala yang tidak gatal, melihat hp, meletakkannya, mengetik kembali, meluruskan pinggang, termenung lalu mengetik lagi. Kira-kira begitulah kegiatannya tiga hari terakhir, berkutata di sekitar kamar kontrakannya keluar paling jauh hanya ke kamar mandi.

Selepas isya’ sudut kota bandung di hari kemerdekaan sebuah negara bernama Indonesia. Dia,, masih melakukan aktivitasnya seperti tiga hari terakhir ini. Mungkin beberapa hari kedepan? Sepertinya tidak. Beberapa hari ke depan akan lebih berwarna kegiatannya. Aaah, belum tentu dia masih hidup besok juga. Dia masih mengetik dan megetik lagi. Teman-teman satu kontrakannya belum ada yang kembali dari acara pulang kampungnya. Praktis dia sendiri di dalam lingkungan kontrakan dengan banyak sekali kamar-kamar yang dihuni orang-orang macam dia, paling tidak sama dalam status, yaitu mahasiswa. Kebetulan memang ini sedang musimnya liburan akhir semester yang panjang sekaligus libur lebaran. Maklum bila dia hanya sendiri, temannya belum kembali ke perantauan seperti dirinya.

Selepas isya’ sudut kota Bandung di hari kemerdekaan sebuah negara bernama Indonesia. Adzan Isya baru saja selesai berkumandang digantikan oleh senyap yang kadang ditingkahi sayup suara mobil di kejauhan dan canda anak-anak pribumi yang riang menantikan kembang api yang beberapa saat lalu sebelum adzan berkumandang, berpendar menghiasi langit. Kembang api diatas atap kamar kontrakan 2x4 m tersebut. Suaranya memekakkan telinga membuat jantungan. Lima belas menit kemudian suara hingar bingar perayaan hari kemerdekaan yang diselenggarakan di daerah tersebut kembali mengudara. Dia, tetap tidak terusik oleh semua itu. Masih mengetik, mengetik, garuk kepala yang tidak gatal, tercenung, mengetik lagi, keluar ke wc sebentar kemudian mengetik lagi. Aaah iya, dia sedang mendapat keistemawaan tidak usah mengerjakan sholat. Makanya dia kembali mengetik dan mengetik lagi. Tercenung kembali di depan laptopnya yang kepanasan karena telah tiga hari bekerja tanpa dimatikan.

Selepas isya’ sudut kota bandung di hari kemerdekaan sebuah negara bernama Indonesia. Dia masih mengetik, mengetik dan mengetik. Hpnya yang harus sering di charge karena batrenya yg sudah soak berdering tanda sebuah pesan masuk. Diambilnya, tertulis “sedang apa kau? Besok minggu datang ke acara tak?”. Dibalasnya dengan cepat, sudah hafal keypad Hpnya rupanya dia, “ngejar deadline. Sudah hampir mati ni. Entah, liat saja besok, lgian undangan ga jelas. Gmn mgkn ak dtg pd acr yg ak tak diundang.” Diletakkannya kembali hpnya, kembali mengetik di laptop dia. Laptopnya yang sudah kepanasan minta dimatikan. Tapi dengan sadisnya dia masih menggunakannya. Hampir mati katanya.


Selepas isya’ sudut kota bandung di hari kemerdekaan sebuah negara bernama Indonesia. Dia masih mengetik dan mengetik lagi.  Tidak peduli dengan kesepian ataupun kebisingan di sekitarnya. Tenanglah kawan, dia tidak begitu selama hidupnya. Dia hanya sedang mengejar mimpinya. Yaa, seperti kamu, kamu, kamu, kalian, kalian dan kalian. Seperti orang lain yang juga punya mimpi dan mengejarnya.  Mengejar mimpi bukan hanya bermimpi. Ya, selepas isya’ sudut kota bandung di hari kemerdekaan sebuah negara bernama Indonesia ditingkahi hingar bingar perayaan kemerdekaan dan kembang apai yang memekakkan telinga menjadi saksi seorang anak manusia yang sedang mengejar mimpinya di perantauan.

*sebuah cerita

Share:

0 komentar