A Cup Of Coffee


Harumnya kopi hangat milik bu Fat kemarin masih belum juga hilang dari hidungku hingga detik ini.
Aku juga tidak tau mengapa. Padahal bukan baru kali itu aku mencium harum aroma kopi hangat yang baru saja diseduh. Mungkinkah karena susana yang mendukukng ataukah bagaimana, tapi harum kopi itu sangat berkesan. Saat itu, aku sedang duduk di depan lab organik bersama teman-temanku menunggu dosen untuk bimbingan. Suasana sedikit kelam karena mendung tidak berarti membuat suasana hati kamipun menjadi suram.  Menunggu dosen memang telah menjadi makanan kami sehari-hari selama satu semester belakangan ini. Berkejar-kejaran dengan waktu mengejar deadline yang hampir selalu mati.
Harumnya aroma kopi ibu Fat yang mengusk hidungku kemarin akhirnya mendorongku ke kantin ini hari ini, dalam desarnya hujan sore hari secangkir kopi alangkah nikmatnya pikirku. Keberadaan dosen yang tidak jelas, mendorongku lebih bersemangat menikmati hangatnya kopi untuk menghilangkan tusukan dingin udara Bandung yang basah sore ini. Tanpa babibu secangkir kopi hangat telah tersaji didepanku tak sampai lima menit aku memesannya. Aromanya masih kalah dengan aroma kopi bu Fat kemarin tapi kafeinnya aku rasa cukup untuk membangkitkan sebagian saraf otakku yang sedang aku perlukan untuk berfikir. Setengah hari ini telah kuhabiskan untuk menonton. Sebuah aktivitas yang menyiakan waktu akan tetapi terkadang diperlukan untuk sekedar menyegarkan otak yang mulai dipenuhi benang kusut.
Bagiku cerita akan secangkir kopi bukan hanya sekedar aroma wangi menyegarkan dan ketergantungan beberapa banyak orang akan kafeinnya. Secangkir kopi hampir bisa dikatakan selalu menjadi saksi setiap malamku berkutat dengan tugas-tugas kuliah maupun tugas-tugas organisasi selama aku hidup di Bandung lima tahun belakangan. Secangkir kopi, kafeinnya dulu kuyakini dapat memaksa mataku untuk tidak terpejam dalam menghadapi tuntutan-tuntutan esok hari yang belum selesai kukerjakan. Kata para ahli, kafein kopi dapat memaksa simpul-simpul saraf otakku yang ingin beristirahat untuk tetap bekerja. Lima tahun belakangan memang aku harus memaksa otak dan tubuhku untuk bekerja lebih ekstra. Secangkir kopi selalu menjadi saksi pemaksaan yang kulakukan terhadap diri sendiri. Ah tapi aku sangat sangat yakin, apa yang kulakukan masih belum seujung kukupun bila dibandingkan dengan orang-orang lain diluar sana.
Secangkir kopi, bagi orang-orang borjuis merupakan sebuah prestis. Mereka bahkan rela merogoh saku mereka dalam-dalam, mengeluarkan beberapa lembar uang merah bergambar soekarno-hatta hanya untuk secangkir kopi di sebuah hotel dengan restorannya yang menyilaukan mata. Orang-orang berdasi dan berjas rapi, duduk dengan anggun agar terlihat elegan di depa koleganya masing-masing. Bau parfum mahal, menutupi bau badan yang telah disingkirkan dengan sabun yang mahal pula. Sebatang rokok dengan kotak dan pematik mahal didepannya bersanding dengan kopinya. Setelan necis dan mentereng, berdua, bertiga atau berbanyakan bersama-sama meminum secangkir kopi di kursi yang harganya bisa kugunakan untuk biaya hidup satu dua bulan per kursi. Orang-orang itu meminumnya bersama koleganya yang juga tak segan mengeluarkan banyak-banyak soekarno-hatta dari dompetnya untuk secangkir kopi. Bahkan bisa jadi secangkir kopi menentukan sukses tidaknya sebuah tender direbut atau sukses tidaknya sebuh perjanjian bisnis. Yah paling tidak secangkir kopi akan menjadi saksinya melayang atau digenggamnya sebuah tender.  Secangkir kopi menjadi saksi sebuah kehidupan.
Dilain pihak, mungkin didepan jalan restoran hotel yang menyilaukan itu, secangkir kopi yang lain mungkin sedang digenggam oleh sopir angkot yang harus memaksakan matanya tetap terbuka bila tak ingin celaka. Tentu saja secangkir kopinya tak seprestis kopi yang ada di dalam gedung restoran hotel mentereng tadi. Sopir angkot itu, mungkin hanya perlu mengeluarkan dua atau tiga lembar patimura dari dalam dompetnya. Sama dengan harga kopi yang sedang menemaniku sore ini. Tiga lembar patimura. Tak jauh dari angkot dan gedung itu, mungkin juga beberapa tukang becak atau tukang sapu jalanan juga sedang menikmati kopi tiga lembar patimuranya. Lagi-lagi kopi menjadi saksi atas sebuah kehidupan. Kali ini bukan kehidupan orang borjuis, akan tetapi kehidupan jalanan.
Di cafe-cafe, diskotik-diskotik. Secangkir kopi juga berada disana di kehidupan malam. Hingar bingar musik keras. Ditengah ramainya orang berjoget dan bergoyang. Ditempat anak-anak muda kaya menghabiskan uang orang tuanya. Diantara minuman-minuman alkohol dan minuman minuman lainnya selalu saja terselip secangkir kopi disana. Di atas meja diantara botol, sloki, rokok dan pematik. Secangkir kopi itu tak seharga beberapa lembar soekarno-hatta, paling banter satu lembar soekarno-hatta sudah cukup untuk membayar secangkir kopi itu. Secangkir kopi kembali menjadi saksi sebuah kehidupan, kehidupan malam anak manusia yang kelebihan uang mungkin kurang kasih sayang dan mungkin pula merasa tak punya tempat kembali ketika malam tiba memintanya mengistirahatkan badan.
Disisi lain, mungkin tak jauh dari cafe-cafe dan diskotik-diskotik tersebut. Di terminal-terminal, di gang-gang sempit jalanan, anak-anak jalanan juga menenggak sesuatu yang sama. Hanya saja tak ada meja disana, tak ada kursi, tak ada musik dengan sound system lengkap dengan Djnya, tak ada bartender dan tak ada kelap kelip lampu disko. Tak banyak orang berjoget disana, dan tak seramai suasana di dalam kafe, mungkin lebih diramaikan dengan cericit tikus-tikus got yang berseliweran mencari kehidupan sendiri. Disana ada botol-botol, ada sloki yang diganti dengan gelas plastik bekas air minum mineral gelasan, ada rokok yang beberapa patah sana sini, ada pematik pula dan tentu ada beberapa cangkir kopi. Hey, jangan bayangkan cangkirnya sebagus yang ada di dalam cafe atau di dalam restoran hotel tadi. Bayangkan saja, cangkirnya berupa gelas plastik bekas air minum mineral gelasan, seperti yang digenggam para sopir angkot siang tadi.  Nyanyian nyanyian jorok dan tak teratur dan beberapa bekas muntahan mungkin itulah yang akan menjadi pemandangannya. Ya, ini juga kehidupan malam seperti yang di dalam kafe tadi, hanya saja mereka tak punya cukup uang untuk dihamburkan. Orang tua mereka juga tak cukup kaya untuk di buang uangnya. Secangkir kopi, kembali menjadi saksi. Membuang receh demi receh yang dihasilkan selama seharian di jalanan.
Para pemburu kopi, memburu cangkir demi cangkir kopi dari satu cafe ke cafe lainnya, dari satu negara ke negara lainnya. Para dosen, karyawan, buruh pabrik, pemimpin perusahaan, satpam, mahasiswa, tukang becak, tukang cukur, sopir angkot, pejabat,  tukang sapu jalanan, dokter, polisi, tentara, kehidupan siang, kehidupan malam. Secangkir kopi, menjadi saksi semua lini kehidupan. Secangkir kopi, ya secangkir kopi. Bagiku secangkir kopi yang menemaniku setiap hari, sama dengan secangkir kopi lainnya yang dihirup banyak orang lainnya. Secangkir kopi menjadi saksi kehidupan, menjadi saksi ironis dan harmonisnya kehidupan manusia. Bahkan kopi pun mempunyai strata, sama seperti manusia yang dikotakkan dalam srata strata, paling tidak strata borjuis dan strata bawah. Penggolongan manusia secara kasar, tabu dikemukakan tapi nyata terlihat oleh mata. Seperti kopi, aromanya sama, rasanya sama tapi beda harga hanya karena tempat dan tampilan cangkir.


In the afternoon rain at Jica’s canteen
Capucino, mocacino, espreso, white coffe, black coffe, whatever kind of coffee, they are look same in my eyes, they are coffee that has caffein inside them, just like human, they look same in my eyes, they are human being who has heart and brain, whatever they are.
Hari mulai gelap dan dingin mulai menggigit

30 Oktober 2013 

Share:

0 komentar