SUNSET KAMPUNG NELAYAN

Desa Tritunggal Kecamatan Rembang, salah satu rumah di kampung nelayan itulah yang menjadi tujuanku dan keluargaku di hari kedua lebaran idul fitri ini. Rumah tempat ibuku lahir dan dibesarkan juga rumah tempatku pertama kali meneriakkan suara cempreng tangis dan pertama kali ku melihat dunia, juga rumah tempat bapak dan ibuku mengucapkan janji ikatan pernikahan. Betul sekali rumah itu adalah rumah dimana kakek dan nenek ku tinggal. That's the home. Berangkat dari Solo tepatnya dari kecamatan Klego (rumah budhe -- kakak perempuan bapak) habis maghrib, karena memang kami silaturahmi dahulu di keluarga di Solo, menyusuri jalur selatan menuju pantura. Dari Klego menuju sragen kemudian jalan berkelok dan sepi di tengah hutan jati menuju Purwodadi lalu ke Blora dan mendarat di alun-alun Rembang untuk melepas lelah dan mengisi perut. Tengah malam lewat beberapa menit sampailah di rumah mbahku. Alhamdulillah lancar..

Setelah sekian lama, kurang lebih setahun bagiku,, tidak menghirup udara pantai kampung ini, tidak merasakan hembusan angin laut yang kencang dan lengket, tidak mencium aroma garam dan ikan asap. Hmm,, i really miss it. Yang paling membuat kangen adalah laut, pantai, pasir dan sunsetnya. Awesome. Lautnya memang tak seganas laut selatan seperti layaknya laut pantai utara lainnya, pasirnya juga tak seputih pasir-pasir pantai Bali atau Raja Ampat, pantainya penuh dengan perahu nelayan yang disama di sebut jukung, dipinggir pantai banyak didirikan rumah-rumah penduduk, dan sunsetnya mungkin kata orang tak akan seindah sunset di Kuta Bali. Akan tetapi itu semua tidak penting, bagiku pantai kampung nelayan ini selalu indah, selalu membuat merindu. Karenanya esok sorenya aku bersama adik dan bapakku bergegas kesana.

Rumah nenekku kurang lebih dalam radius 500 m dari tepi laut. Untuk mencapai laut, kami berjalan kaki (anda juga dapat menaiki sepeda ontel, motor maupun mobil untuk menuju kesana tentunya jika menggunakan mobil atau sepeda motor harus memutar agak jauh). Setelah melewati beberapa rumah penduduk yang subhanalloh mereka masih ingat aku padahal bisa dibilang sangat lama tidak bertemu. Warga kampung nelayan ini setiap sore punya kebiasaan bercengkerama di depan-depan rumah mereka bersama tetangga-tetangga mereka (silaturahmi yang sungguh indah). Di depan rumah, biasanya di pinggir jalan di bawah pohon ada amben (seperti tempat tidur terbuat dari kayu) yang digunakan untuk duduk bercengkerama mengasuh anak atau membuat jala (jaring untuk menangkap ikan). Mereka biasanya santai di sore hari, karena miyang (melaut) biasa dilakukan pada malam hari hingga pagi menjelang siang. Layaknya penduduk laut yang lain (kebanyakan yang saya tahu) mungkin terpengaruh cuaca yang selalu panas atau apalah saya tidak tahu, mereka cara bicaranya kasar, suara keras, dan blak-blakan, tetapi mereka sebenarnya sangat ramah (hal jarang saya temukan di Kota tempat saya merantau). Saya melewati sekali kerumunan penduduk,, dan coba tebak apa yang mereka katakan. Saya bilang "Nderek langkung" (numpang lewat-- sederhanya permisi). Mereka menjawab " Lhah niki lak Dhevi nggon mbak Rom to,, halah kok wis prawan gedhi. Kapan le tekan kene nduk? " kurang lebih begitu (maksudnya,, ini kan dhevi anaknya mbak Rom -- ibuku,, kok sudah besar. kapan sampai disini?) Akrap sekali di telingaku. Hal yang tak pernah ku dengar di kotaku selama 4 tahun terakhir ini, paling tidak di lingkungan kosanku. Silaturahmi itu indah.

Setelah melewati 4 atau 5 rumah penduduk, sampailah kami di komplek tambak (seperti kolam-kolam ikan, biasa digunakan penduduk untuk memelihara ikan atau mmbuat garam). Tambak-tambak itu digunakan penduduk sebagai mata pencaharian disamping miyang mencari ikan dilaut. Ketika musim kemarau seperti ini, tambak digunakan untuk membuat garam. Tambak yang digunakan untuk membuat garam tidak terlalu dalam hanya sekitar 15 cm kedalamannya. Selain itu harus rata tanahnya. Pembuatan garam secara tradisional ini menggunakan air laut dan menerapkan konsep penguapan. (buka lagi pelajaran fisika yooo). Air laut dialirkan melalui sungai-sungai buatan menuju tambak-tambak. Air dimasukkan ke dalam tambak dari sungai tersebut dengan kincir angin atau dengan manual menggunakan tangan. Memasukkan air secara manual disebut ngebor. Ngebor biasanya digunakan apabila sedang jarang angin (untuk menggerakkan kincir) atau karena petani garam tersebut tidak mampu membangun sebuah kincir. Setelah proses ngebor selesai tinggal menunggu air menguap dan kristal garam mengendap. hmm, wangi garam, warnanya putih dan bentuknya masih kristal dan belum di beri tambahan yodium. Jadi garam mentah ini tidak direkomendasikan untuk di konsumsi oleh orang di pegunungan, karena notabene orang di pegunungan membutuhkan yodium lebih banyak. Garam-garam yang telah dipanen ini kemudian dikiriom ke pabrik-pabrik garam yang kemudian akan tersaji di meja-meja daur kita. Sayang, saya tidak punya dokumentasi proses pembuatan garam. Melewati tambak-tambak ini serasa di negeri Belanda negeri Kincir angin. Hehehe..

Setelah melewati tambak-tambak tersebut,, hembusan angin semakin terasa kencang dan lengket. pasir-pasir beterbangan di tiup angin. Beberapa langkah lagi terbentanglah laut utara pulau jawa. Pantai Tritunggal Rembang,, jukung-jukung yang tertambat di tepi pantai dengan rapihnya. Para pemiliknya sedang mempersiapkannya untuk miyang nanti malam, malam ini mulai melaut lagi setelah beberapa hari tidak melaut karena lebaran. Life Must Go On walau masih suasana lebaran tapi dapur harus tetap ngebul. Matahari tinggal sepenggalah lagi, warnanya kuning keemasan tidak menyakitkan untuk mata. Masih sekitar 20menitan menunggunya benar-benar tenggelam.

Di tengah laut sana kira-kira seperempat jam perjalanan menggunakan jukung nelayan berdiri megah gugusan pulau karang, disana terdapat hamparan pasir putih. Aku pernah kesana sekali saat nyadran. Nyadran disana berbeda dengan nyadran di desaku, mungkin berbeda pula untuk daerah-daerah yang lainnya. Nyadran di desa nelayan ini dilaksanakan pada hari ke 6 lebaran, disebutnya kupatan. Kalau daerah-daerah lain, memasak kupat atau ketupat sudah dilakukan sejak hari pertama lebaran, kalau di pantura khususnya daerah Rembang, Pati, Blora dan sekitarnya membuat ketupat dilaksanakan pada hari ke 6 lebaran yang disebut kupatan tadi. Ketupat-ketupat dan jajanan lainnya yang dibungkus dengan janur baik janur kelapa maupun janur siwalan (sejenis kelapa tapi buahnya lebih kecil dan endemik di daerah Rembang - setahu saya) pada pagi hari dibawa ke masjid seperi kenduri akan tetapi berbeda dengan kenduri. Di masjid berdo'a kemudian setelah selesai berdo'a makanan yang dibawa masing-masing (biasanya ditempatkan dalam satu wadah yang di sebut besek) ditukar dengan makanan yang dibawa oleh oranglain, jadi tukar-tukaran besek. Setelah itu dibawa pulang untuk dimakan bersama keluarga. Hmm,, aku pernah  mengikuti tradisi ini waktu masih kecil dulu. Sekarang-sekarang tidak bisa lagi, biasanya sudah kembali ke rumah atau desaku pada hari keempat atau kelima lebaran. Salah satu tradisi yang dapat memperat silaturahmi dan kebersamaan. Juga agar orang kaya dan orang miskin dapat berbaur dengan sebaik-baiknya. Ketika berebut makanan (makanan sudah dikumpulkan sebelum berdo'a) tidak lagi memilih-milih ini dari siapa dari siapa, jadi bisa saja orang kaya merasakan apa yang di bawa orang miskin (yang mungkin lebih sederhana) dan sebaliknya. Keren lah. Berlanjut ke nyadran tadi, nyadran dilakukan setelah kupatan. Orang-orang yang akan melakukan nyadran naik jukung-jukung yang biasa digunakan untuk mencari ikan untuk menuju suatu tempat di timur menuju makam putri cempa dan sunan Bonang (tokoh penyebar Islam di pantura dan salah seorang Wali Songo) untuk berziarah. Letak makam itu di suatu bukit, dan di dekat pelabuhan menuju bukit tersebut ada suatu karang yang menjulang yang di sebut batu karang Jangkar Dampo Awang karena bentuknya yang seperti jangkar kapal. Apabila dilihat dari dekat batu karang itu seperti batu karang yang lain biasa saja tidak ada yang istimewa, tapi kalau dilihat dari kejauhan biasanya dari atas bukit batu karang itu terlihat seperti jangkar sebuah kapal. Yaa,, mirip-mirip dengan gunung tangkuban perahu kali ya kalau di Jawa Barat, gunung yang tampat seperti kapal/ perahu yang menelungkup bila dilihat dari kejauhan. Karang yang tadi kuceritakan tentunya bukan batu karang Dampo Awang itu. Itu adalah sebuah gugusan pulau karang yang indah, dan kebetulan aku kesana ketika nyadran. Oya, orang-orang setelah nyadran / ziarah tadi juga suka singgah ke pulau karang itu.

Adikku (sepupu) Nira yang masih berumur 4 tahun langsung berlari menuju tepi laut dan mulai bermain air. Aku dan adikku Daqi sudah khawatir saja takut dia terseret ombak, tapi Nira adikku yang sumeh (murah senyum) itu malah tertawa-tawa gembira. Tidak tega membawanya menjauh dari air, yah akhirnya adikku Daqi aku suruh untuk mengikutinya. Aku duduk di hamparan pasir menikmati semuanya, menulis-nulis di pasir (yang akhirnya Nira kecilku tertarik dan duduk manis disampingku berhenti bermain air) dan membuat sesuatu dari pasir bersama Nira. Bapakku tak lama kemudian menyusul duduk disampingku. Kami berempat akhirnya duduk menikmati suasana pantai. Bertadabur alam kalau kata adikku Daqi. Mungkin benar layak disebut tadabur alam juga bila pergi bersama Bapakku ini, karena benar tak lama kemudian Bapak bercerita panjang lebar akan ayat-ayat Alloh yang ada di sini.

Ilmu Alloh SWT, tiada bandingannya, amatlah sangat banyak dan tinggi. Apabila seluruh lautan yang ada di muka bumi ini diibaratkan ilmu Alloh SWT, maka ketika kita mencelupkan jari telunjuk kita ke air laut tersebut dan kita mengangkatnya kemudian ada air yang menetes, nah tetesan air itulah yang diibaratkan ilmu Alloh yang dibagikan kepada seluruh makhluk yang ada di bumi ini, yang dapat di ketahui oleh makhluk-Nya. Jadi, sangatlah amat tidak pantas apabila kita sombong akan ilmu yang kita miliki, karena sangat tidak sebanding dengan ilmu Alloh SWT. Dan apabila ilmu Alloh itu dituliskan tidak akan ada habis-habisnya. Ibaratnya jika semua air laut dijadikan tinta dan digunakan untuk menuliskan kalimah-kalimah Alloh, dan bumi serta isinya dijadikan alas untuk menulisnya niscaya tinta air laut itu akan habis dan kalimah Alloh belum selesai dituliskan, kemudian bila didatangkan lagi lautan sejumlah lautan yang ada di bumi ini dan dijadikan tinta untuk melanjutkan menulis kalimah Alloh, kalimah Alloh belum juga selesai dituliskan, begitu terus hingga tujuh kali, kalimah Alloh belum selesai di tuliskan. Maha Besar Alloh dan Maha Suci Alloh.

Akhirnya matahari hampir menyentuh peraduannya, di ujung barat terlihat gugusan pegunungan-pengunungan jadi sunset disini tidak akan benar-benar tenggelam di ufuk laut, akan tetapi tertutup oleh gunung tadi. Walau begitu tidak mengurangi keindahan sunset yang kami saksikan. Semakin lama semakin kecil-kecil dan kemudian hilang ditelan gunung. Indah sekali,, matahari seperti dilukis lukisan pegunungan dan akhirnya matahari itu hanya terlihat bagai titik merah kecil di sela-sela pegunungan itu dan akhirnya hilang sama sekali ditelan pegunungan. Maghrib beberapa menit lagi, karena sebenarnya memang matahari belum benar-benar tenggelam di ufuk barat. Kami bergegas pulang, berlari-lari kecil agar adik kecil kami Nira segera dapat dimandikan karena udah basah kuyup, takut masuk angin. Pas ketika adzan maghrib berkumandang, kami sampai di rumah. Segera kami membersihkan diri dan mendirikan sholat maghrib.

# I will always miss this sunset and this place
sunset ini tidak akan pernah terulang lagi, tapi akan ada sunset-sunset yang lainnya di hari-hari esok selama masih ada dunia ini yang mungkin tak kalah indahnya dari sunset hari itu. Setiap kejadian punya momentnya sendiri.
^__^

Share:

0 komentar