Cinta -''Katanya''-




Berbicara tanggal 14 Febuari, para ABG dan anak muda jaman sekrang tentunya sudah sangat mengenal dan otomatis akan menyambungkannya dengan Valentine Day, Hari Kasih Sayang. Katanyaa… Berbicara mengenai valentine day atau hari kasih sayang tentunya tidak lepas dengan coklat. Hari ini menjadi penting bagi sebagian para muda-mudi, mereka merayakannya dengan coklat. Sang wanita memberikan coklat
kepada sang laki-laki “pujaan”nya. Asal muasal mengapa harus tanggal 14 Febuari dan apa yang melatarbelakangi hari ini dinobatkan menjadi hari kasih sayang tentunya telah banyak yang tau. Disini kita tidak akan membahas apa itu valentine day atau apalah itu namanya, bagaimana ia dinobatkan, bagaimana perayaannya di beberapa belahan dunia dan lain sebagainya. Kita coba untuk membahas sesuatu yang selalu di kambinghitamkan dibalik setiap perayaan di tanggal 14 Febuari.
Beberapa saat sebelum tulisan ini dibuat, saya mendapatkan sms dari salah seorang adik saya bertemu di organisasi, isinya begini:

“….. karena kata cinta dan sayang sebelum pernikahan adalah percuma”

Saya tersentil sekali dengan isi sms tersebut. Saya pikir, benar sekali kalimat itu. Beberapa bulan belakangan ini, saya banyak berpikir mengenai cinta dan kasih sayang. Dan kata-kata itu persis sekali menggambarkan apa yang saya pikirkan.

Sekian banyak manusia di bumi ini yang berbual akan cinta dan kasih sayang. Banyak manusia yang menjadi “galau” –istilah jaman sekarang – dan bahkan menjadi gila. Masalah hati dan perasaan memang tidak dapat memilih, tapi logika masih dapat memilih. Bualan berlabelkan cinta dan kasih sayang sangat laris manis di pasaran masa kini. Tentunya cinta dan kasih sayang dalam arti sempit bukan dalam arti luas. Dalam arti sempit disini saya artikan dengan hubungan antara dua orang yang katanya dimabuk cinta, entah apa maksudnya mungkin karena seperti layaknya orang mabuk akal pikirannya tidak digunakan dengan semestinya. 

Dan ketika berbicara mengenai cinta dan hubungan dua orang, identik dengan pacaran. Pacaran saya artikan dengan hubungan dua orang yang –katanya – atas dasar saling mencintai sehingga membuat keduanya ada ikatan – entah ikatan apa – dan seolah ada peraturan tidak tertulis yang menyataan ‘engkau adalah milikku’ baik itu antara dua orang berlawanan jenis ataupun sejenis. Selama proses ‘pacaran’ itu, banyak sekali terlontar kata cinta dan sayang. 

Dalam salah satu jejaring sosial –saya menyebutnya ‘kicau/berkicau’ – saya pernah membaca salah satu ‘kicauan’ di salah satu akun ‘kicau/berkicau’ yang banyak pengikutnya – walau tidak tau siapa adminnya – begini isinya

“besar pasak dari pada tiang, besar nafsu daripada sayang – itulah pacaran”

Lagi-lagi benar. Survey selalu menunjukkan, gaya pacaran yang ngetren sarat dengan ‘nafsu’ dan lagi-lagi dibalik angka survey yang selalu menunjukkan angka dramatis itu, selalu ada embel-embel ‘fenomena gunung es’. Angka yang dramatis itu belum menunjukkan angka yang sebenarnya, seperti layaknya gunung es, yang terlihat jauh lebih kecil dari gunung es yang sebenarnya. 

Masih dari adik saya tadi, dengan smsnya yg lain, lanjutan dari smsan saya dengannya. Isinya begini

“ dan bagi lelaki yang tidak lulus ujian tanggungjawab dan komitmen itu, merekalah yang akhirnya masuk dalam jurusan pacaran”

Dan hemat saya, kata-kata itu perlu ditambahkan,, begitu pula para wanitanya.

Mengatasnamakan nafsu dengan cinta dan kasih sayang, mengkambinghitamkan cinta dan kasih sayang untuk melegalkan nafsu yang harusnya dipenjara sebelum waktunya legal. Tuhan tidak pernah memerintahkan, Rasul tidak pernah memberikan contoh. Islam tidak pernah mengajarkan semua itu,, lalu mengapa kita harus memaksakan diri melegalkannya dengan sesuatu yang tidak di ajarkan, legalkan dengan cara yang di ajarkan “pernikahan”.

Saya pernah mendengar, seorang lelaki yang baik tidak akan mengajakmu pacaran akan tetapi mengajakmu menikah, bukan memintamu pada dirimu akan tetapi memintamu pada ayahmu.

Terkadang kita memang buta ketika sudah dihadapkan dengan masalah cinta. Sebuah anugrah Tuhan yang sangat misterius. Ketika kita tidak mempunyai pegangan yang kuat tentunya kebutaan ini akan menjadi masalah yang serius dan dapat mencelakakan diri kita. Oleh karena itu, kita perlu pegangan yang kuat yang telah dibekalkan Rasul kepada kita. Manusia adalah tempatnya salah dan lupa, terkadang kita lupa hingga melepaskan pegangan kita hingga kita rapuh dan berjalan dalan kebutaan akhirnya tersesat. Tapi janji Alloh, bertaubatlah karena ampunan Alloh lebih luas dari bumi langit serta isinya. Dan Alloh tidak pernah mengingkari janji-Nya.

Kamis malam lalu, mendengarkan Aa Gym ceramah,

“Semakin banyak seseorang mengobral janji, maka orang itu kadar ketakutan kepada penciptanya sangat rendah. Orang yang sangat takut kepada Yang Maha Menepati Janji tidak akan semudah membalikkan telapak tangan mengucapkan janji. Maka, janganlah tergiur oleh janji-janji makhluk, percaya boleh akan tetapi sungguh bijak bila kita menggantungkan harapan kepada Dzat Yang Tak Pernah Mengingkari Janji.”

Terakhir, kembali saya mengutip kata-kata teman. Sebenarnya temannya teman saya sih. He.
“Saya juga bukan orang yang baik, saya juga orang yang ‘brengsek’ –maaf– , tapi mumpung saya inget marilah kita sama-sama memperbaiki diri, dan semoga terus memperbaiki diri sehingga kita akan menjadi orang yang lebih baik bersama-sama”.
Untuk itulah saya menulis tulisan ini, sebagai pengingat untuk saya juga semoga bermanfaat dan dapat menjadi pengingat pula untuk anda yang membaca.

*perenungan akan sebuah langkah yang tergelincir, berusaha agar tidak tergelincir lagi.
*belajar menggapai cinta hakiki, belajar mencintai Yang Maha Mencinta, Yang Tiada Pernah Terputus Cintanya, Yang Kekal Cintanya.

Share:

0 komentar