Hujan di Gumpang

"Hujan di Gumpang"

Hujan, di luar sana banyak orang mendeskripsikan hujan. Hujan juga selalu menjadi personifikasi favorit dalam mendeskripsikan diri. Penyair-penyair sangat mengenal hujan, menjadikannya inspirasi atau kadang hanya sekedar pelengkap rima. Kaum melankolis melukiskan perasaan – perasaan mereka melalui hujan. Para penikmat hujan tak akan dapat lepas dari candu petrichor.
Bagi anak – anak, hujan adalah bermain, alat bermain gratis dan paling menyenangkan. Bagi musisi, hujan adalah alunan syahdu nada – nada alam. Bagi penyair, hujan adalah inspirasi dimana ribuan syair indah dapat tercipta darinya. Bagi remaja, hujan adalah luapan perasaan yang membuncah. Bagi fotografer, hujan adalah jepretan dengan efek paling menakjubkan dari segala sisi. Bagi petani, hujan adalah berkah. Bagi nelayan, hujan adalah hati – hati dan resiko menantang maut lebih tinggi. Bagi kodok, hujan adalah musik pengiring nyanyian khas hujan mereka. Bagi orang patah hati, hujan adalah tangisan sedangkan bagi pasangan yang sedang dimabuk asmara, hujan adalah romantis. Bagi sebagian orang, hujan mungkin berarti warung kopi. Bagi sebagian orang yang lain, hujan adalah pundi – pundi uang. Bagi sebagian lagi, hujan adalah anugrah. Dan sebagian yang lain, hujan adalah musibah.
Berbagai macam definisi orang tentang hujan. Berbagai perasaan dan ungkapan dimetaforakan dengan hujan.
Disini, di kedalaman negeri seribu bukit. Diantara bukit – bukit yang saling menyambung tanpa banyak lembahan landai. Hujan berarti lain pula. Penikmat hujan sepertiku, yang selalu menikmati hujan sedamai maupun sericuh apapun ia datang, dalam suasana apapun, merasakan hujan pagi itu dengan perasaan yang tak karuan. Gumpang, inilah nama desa dimana sekolah ini berdiri. Sebuah desa di kedalaman negeri seribu bukit, di tanah Gayo Aceh, memang merupakan suatu wilayah kantong hujan. Hiperbolanya, tiada hari tanpa hujan. Karena memang hampir setiap hari hujan turun di Gumpang ini, dalam musim kemarau paling kering sekalipun (*menurut penduduk asli sini). Dalam musim kemarau paling kering di wilayah lain, disini paling tidak seminggu sekali pasti hujan, apalagi kalau wilayah lainnya musim hujan, di sini sudah banjir – banjir dan longsor – longsor.
Hujan pagi itu terasa sangat berbeda. Hujan deras tak jua berhenti dari sejak malam hingga pagi. Dengan gelisah ku tunggu kedatangan murid-muridku di depan rumahku dengan mondar mandir keluar masuk rumah. Aah ya, rumahku memang di lingkungan sekolah. Biasanya jam setengah delapan pagi sudah ramai anak – anak datang ke sekolah, dan pagi itu hampir jam delapan saatnya lonceng masuk berdentang, baru ada beberapa gelintir anak yang datang. Dengan semakin gelisah, kutengok ruang guru, ah ternyata pun tak ada satupun guru yang sudah datang.
Jam delapan lewat lima belas menit, akhirnya hujan tinggal rintik. Mulailah berdatangan anak – anak ku yang kunanti-nantikan, walaupun tak seramai biasanya. Dan gurunya, ah, hendak menangis rasanya melihat kantor senyap. Hanya meja – meja dengan kursi yang kosong karena penghuninya belum datang. Mau tidak mau, lonceng tetap harus berdentang. Anak-anak pun masih banyak yang terlambat datang. Aah, mereka dapat datang untuk bersekolah pun leganya sudah luar biasa. Akhirnya beberapa orang guru pun datang, sehingga KBM dapat dilaksanakan walaupun terpaksa beberapa kelas kosong. Kami (guru SM-3T) pun harus mengambil kelas rangkap.
Tidak ada kelas yang lengkap penghuninya, rata-rata hanya sepertiga hingga setengah dari jumlah siswa setiap kelas. Bahkan ada satu kelas hanya tiga orang yang datang. Apapun yang terjadi, show must go on.
Hujan memang menjadi pertimbangan tersendiri untuk dapat berangkat sekolah ataukah tidak. Banyak siswa dan guru yang rumahnya jauh, harus melintasi berbukit-bukit untuk dapat sampai ke sekolah. Tentunya dengan hujan yang curahnya sangat tinggi, resiko longsor pun sangat tinggi. Banyak titik – titik longsor di sepanjang jalan menuju ke sekolah, yang artinya ketika longsor tentu saja akses jalan tertutup, sehingga tak dapat pulalah sampai ke sekolah. Ketika sudah begini, hanya anak – anak yang rumahnya di sekitar sekolah saja yang dapat masuk sekolah, itupun kalau hujan deras mereka akan memilih tidak berangkat ke sekolah.Kalaupun berangkat, sampai di sekolah dalam keadaan kuyup dan harus kedinginan selama KBM. Walaupun curah hujan sangat tinggi, di sini jarang orang mempunyai payung maupun jas hujan. Rata-rata menunggu hujan hingga reda, paling tidak hingga hujan dapat di tembus. Sebenarnya desa ini dilalui jalan provinsi, tapi karena medan yang seperti ini jadi aksespun lumayan sulit. Jalan provinsinya pun jangan dibayangkan seperti jalan provinsi di Jawa, jalannya hanya muat untuk dua mobil berpapasan. Itupun sudah banyak yang longsor disana sini, sehingga hanya muat untuk lewat sebuah mobil. Itulah mengapa, barang-barang seperti payung dan jas hujan sangat langka disini.

  
Salah satu ruas jalan yang harus mereka lalui setiap hari
(doc. pribadi)

Dengan kondisi alam seperti ini, kejadian seperti ini akan sering terjadi. Sudah tidak heran, ketika anak-anak datang dengan celana kotor, atau tanpa sepatu, atau baju kotor bekas jatuh, atau sudah sampai sekolahpun langsung pulang lagi karena jatuh ketika berangkat. Ketika hujan tak kunjung berhenti di pagi hari seperti inilah contohnya.
Di sini, hujan berarti sedikit anak yang dapat masuk sekolah. Hujan berarti, sedikit guru yang dapat hadir di sekolah. Hujan berarti tanpa sepatu ke sekolah. Hujan berarti, tanpa seragam ke sekolah. Hujan berarti, resiko tidak dapat pulang ke rumah. Hujan berarti, kemungkinan semakin besar untuk tidak sampai ke sekolah. Hujan berarti, kuyup dan harus menahan dingin selama belajar di sekolah. Hujan berarti, KBM tidak akan berjalan seperti biasa. Hujan berarti KBM tersendat. Tak ada romantisme kala hujan, apalagi dendang air mata patah hati ketika hujan.


25 November 2014
Malam dingin, berteman nyamuk berseliwerang
Dinginnya udara gumpang dengan semerbak kopi
disela tumpukan tugas yang meraung meminta diselesaikan

Tanoh Gayo~

Share:

0 komentar