AJINING DHIRI ANA ING LATHI

-java in education series


Beberapa bulan belakangan ini, viral sebuah lagu dari weird genius yang berjudul lathi. Bahkan sampai ada challangenya yaitu lathi challange. Challangenya berupa menirukan tarian yang ada di video klip lathi. Bukan challange tersebut yang ingin saya bahas. Akan tetapi salah satu liriknya yang menggunakan paribasan jawa "ajining dhiri ana ing lathi". 

Ajining dhiri ana ing lathi atau boleh juga dinyatakan dengan ajining dhiri saka lathi. Secara bahasa, aji dapat diartikan sebagai nilai. Sedangkan lathi adalah bibir atau lidah. Jadi secara bahasa ajining dhiri ana ing lathi dapat diartikan dengan nilai diri seseorang berada pada bibirnya. 

Tentunya kita setuju jika nilai diri seseorang berkaitan erat dengan kehormatan seseorang. Seseorang yang memiliki nilai diri yang baik di mata manusia lain maka yang bersangkutan akan memiliki kehormatan, setidaknya dimata manusia yang menilai tersebut. Sebaliknya, orang dengan nilai diri yang buruk maka dia tidak akan mendapatkan kehormatan.

Lathi - bibir atau lidah. Secara harfiah dapat kita artikan sebagai ucapan. Maka, ajining dhiri ana ing lathi dapat kita maknai bahwa nilai atau kehormatan seseorang ada dalam ucapannya, tutur katanya. Jika seorang manusia tutur katanya kasar, kata-katanya sering menyakiti manusia lain tentu nilai dirinya akan berkurang di mata orang lain. Pun dengan kata-kata bohong, mencla mencle*1) lama-lama orang akan sulit percaya kepadanya. 

Paribasan tersebut mengingatkan agar kita sebagai manusia untuk selalu menjaga ucapan. Jangan sampai kata-kata yang kita ucapkan menyakiti orang lain. Jangan sampai kata-kata yang kita ucapkan menebarkan kebohongan. Jangan sampai kata-kata yang kita ucapkan adalah sebuah fitnah atau ujaran kebencian. Yang paling sederhana, jangan sampai kata-kata yang terucap dari mulut kita hanya berisi kesia-siaan.

Dalam dunia pendidikan, tentu prinsip hidup satu ini sangat penting untuk diterapkan. Baik oleh guru maupun peserta didik. Terutama untuk guru, prinsip ini harusnya tidak boleh lepas dari ingatan. Kenapa? Guru - digugu dan ditiru. Akronim tersebut tentu bukan tanpa makna. Seorang guru akan menjadi contoh bagi anak didiknya. Apakah menjadi contoh yang buruk menjadi pilihan?

Kata-kata yang keluar dari mulut seorang guru, bisa jadi sangat membekas pada siswanya. Contoh kecil saja, misalnya "masa kaya gitu aja ga bisa". Tidak mengatakan bodoh memang, tapi bisa jadi kalimat sederhana yang mungkin tidak sengaja jika dilontarkan guru di waktu yang terlalu "pas" akan dapat sangat membekas pada siswa. Pernah saya bercerita dengan salah seorang siswa. Siswa ini tidak mau bertanya kepada salah seorang guru, padahal dia butuh. Tebak kenapa dia tidak mau bertanya pada guru tersebut? Karena setiap ditanya siswa, guru tersebut mengatakan "masa gitu aja ga bisa, tu temennya aja bisa". 

Saya tidak menyalahkan guru tersebut. Jika pembaca Petrichor Story adalah seorang guru, mungkin sedikit banyak dapat memahami guru tersebut. Apalagi jika, guru tersebut tidak berlatar belakang pendidikan guru. Yang kuliah keguruan pun, saya yakin mungkin sekali dua kali pernah terucap hal-hal seperti itu. Mungkin termasuk saya. Semoga Allah mengampuni saya. Guru tersebut saya yakin tidak bermaksud "menganggap bodoh" atau membiarkan ketidaktahuan siswa tersebut. Mungkin beliau sudah sering endapat pertanyaan serupa, mungkin beliau ingin agar siswa tersebut mencari tahu dulu sebelum bertanya padanya dan alasan-alasan baik lainnya.

Kita tidak akan pernah bisa menyangka, apa yang kta katakan mungkin akan berdampak besar bagi seseorang. Bagi sebagian orang mungkin tidak apa menerima perkataan A misalnya, tidak begitu dengan orang yang lain. Pun begitu dengan siswa. Itulah mengapa orang tua sering berpesan hati-hati dengan omongan. Pikirkan dahulu sebelum diucapkan. Bahkan maksud baik pun jika dikatakan dengan bahasa yang kurang tepat akan diterima dengan tidak tepat pula. 

Ajining dhiri ana ing lathi pun tentu berlaku juga untuk para siswa. Sering saya temui siswa yang masih berkata kasar, seolah kata kasar tersebut tidak apa-apa. Banyak hal yang melatar belakanginya. Entah itu keluarga, lingkungan, atau lingkaran pergaulan si anak. Dalam dunia digital pun, seakan kata kasar sering kali berseliweran. Seolah bahasa tersebut biasa saja. 

Beberapa siswa bahkan seperti tidak dapat membedakan bagaimana bertutur kata dengan temannya dan dengan gurunya. Memang benar, guru dan siswa salah satu garis hubungannya harus seperti teman. Namun, hemat saya tak sepenuhnya bisa lantas bisa berkomunikasi menggunakan bahasa-bahasa yang terlalu "teman". Kalau di jawa atau di sunda bisa sangat di bedakan dengan penggunaan bahasa kasar (sehari-hari biasanya untuk teman sebaya) dan penggunaan bahasa halus (bahasa yang memperhatikan dengan siapa kita berbicara). Saya kurang paham dengan wilayah lain. Karena Indonesia ini sungguh kaya bahasa. 

Sekolah adalah miniatur kehidupan bermasyarakat. Kapan lagi kita berlatih hidup bermasyarakat kalau bukan di sekolah. Kapan lagi anak-anak kita berlatih bermasyarakat kalau bukan di sekolah. Harapannya anak-anak ini ketika nanti sudah benar-benar terjun ke masyarakat dapat menyesuaikan diri dengan baik dan menjadi masyarakat yang memiliki nilai diri yang baik. Minimal dimulai dari bahasa atau ucapan. 

Kalau bisa berucap yang baik mengapa harus berucap yang buruk.
Kalau berucap baik mungkin dapat menyenangkan orang, mengapa harus berucap buruk yang mungkin dapat menyakiti orang.
Bila bisa membuat tulisan yang positif mengapa harus membuat tulisan negatif.


Menurut kalian apakah ajining dhiri ana ing lathi perlu kita jadikan prinsip hidup? Tulis di komentar ya.

#salamliterasi

Magelang, 16 Mei 2020
-dhe

*1) Mencla mencle : Ucapannya mudah berganti. Pagi ngomong A eh siang sudah ganti B untuk konteks yang sama. 

Share:

4 komentar