Menjangkau Mimpi yang Tertinggal

Cericit burung gereja yang beterbangan di sekitar rumahku pagi ini, seperti biasa mengiringi semangatku mempersiapkan diri berangkat ke rumah sekolah walau embun dingin menjilat kulitku lembut menyisakan hawa dingin pada kulit kasarku. Tak banyak orang mengenal daerah tempat tinggalku yang masih sangat asri di kaki gunung Leuser, dimana tapal batas Taman Nasional Gunung Leuser berada tak jauh, hanya perlu 45 menit menggunakan kereta untuk mencapai tapal batas berwujud seperti cula yang tajam itu. Ah disini kami menyebut sepeda motor dengan sebutan kereta.

Jam masih menunjuk angka enam, artinya matahari masih terlalu malu pada embun untuk menampakkan diri. Badanku masih basah bekas air mandi, kukeringkan dengan cepat dan kukenakan seragam putih abu yang telah ku gosok licin semalam.

"Jeglek," suara rice cooker yang kugunakan untuk menanak nasi, menandakan beras yang kumasak tadi setelah sholat shubuh telah berubah menjadi nasi. Bergegas kuselesaikan dandanan jilbabku, lalu beranjak ke dapur mempersiapkan sarapan untuk kedua orang tuaku yang akan berangkat ke kebun nanti, aku tak akan sempat mempersiapkan lagi nanti karena aku harus segera berangkat ke sekolah. Kembali ke kamarku, mengecek ulang roster pelajaran hari ini takut ada yang tertinggal. Yakin, semua buku yang diperlukan hari ini sudah masuk dalam kantongku. Rumah sekolah tidaklah terlalu jauh dari rumahku, hanya perlu waktu lima menit menggunakan kereta. Beranjak ke kamar adikku, membantunya mempersiapkan sekolahnya.

"Malas kali berangkat ke rumah sekolah lah kak," rengek adikku. Lagu wajibnya yang harus kudengarkan hampir minimal tiga pagi dalam tujuh pagi. Aku hanya tersenyum dan mengelus kepalanya, ah dia masih saja menyanyikan lagu wajibnya itu. Tak dapat pula kusalahkan dia. 
"Berangkat terus sayang, kakak antar nanti," balasku seperti biasa. 
Tak jauh dengan keadaan sekolahku, sekolah dasar adikku ini jarang masuk guru sehingga kami terbiasa untuk tidak belajar. Aku tau bila  adikku sudah merengek pasti kemarin gurunya datang, maka kemungkinan besar hari ini pun datang dan mengajar paling tidak setengah hari. 
Ah burung, betapa beruntungnya kau punya sayap, mampu terbang kemanapun kau mau, mencari ilmu sebanyak yang kau mau, tak harus terkepung oleh ribuan bukit seperti manusia-manusia sepertiku. Sudahlah, kuhentikan lamunan keirianku pada burung, kuganti dengan sebuah do'a semoga guru kami nanti datang.

----

Teng teng teng
Lonceng berdentang tiga kali pertanda kami harus masuk kelas, tanda pelajaran akan segera dimulai. Namun, seperti biasa hanya beberapa kelas yang masuk kelas karena gurunya datang. Pagi ini hanya dua kelas yang masuk, tujuh kelas lainnya masih berkeliaran, bermain bola lah, makan di kantin lah, atau hanya sekedar duduk-duduk bergosip. Kelas kami termasuk kelas yang berkeliaran tadi, guru kami tidak datang ah belum datang, aku mencoba berfikir positif. Mungkin jalan banyak longsor sehingga guru kami terlambat. Kami diminta mencabut rumput di taman-taman sekitar kelas kami. 

Suara mobil kepala sekolah, aku sangat menghafalnya. Rasa heran memenuhi otakku, tak biasanya bapak datang hari kamis seperti sekarang. Hari kamis adalah hari dimana bapak mengurus segala macam keperluan sekolah kami di kota. Keherananku segera terjawab, mobil bapak berhenti di depan kantor, masih tidak biasa karena biasanya bapak memarkir mobilnya di tempat parkir mobil, menurunkan tiga orang tamu dengan wajah-wajah asingnya. Spontan aku bertanya kepada guru yang ada di dekat kami, "Bu, itu guru baru kita?" tanyaku antusias. 
"Iya," kata Ibu Iah singkat dengan tersenyum.
"Aaaaaaaa.......," sontak kami menjerit senang.

----ooo----

Perjalanan masih panjang, aku harus berjuang melawan seluruh keterbatasan. Keterbatasan ruang gerakku, keterbatasan pengetahuan, keterbatasan pemikiran, keterbatasan materi, keterbatasan akses, keterbatasan dukungan, keterbatasan adat, dan keterbatasan-keterbatasan lainnya. Guru baru, sebuah jalan yang diberikan Alloh untuk kami disini meruntuhkan beberapa keterbatasan untuk menjangkau mimpi-mimpi kami, mimpi-mimpiku yang masih tertinggal. Pagiku, harus semakin bersemangat bersama cericit burung gereja. Aku akan menyusulmu burung, mengepakkan sayap melihat dan mereguk ilmu sebanyak-banyaknya. 

----ooo----

sebenarnya ini sebuah harapan
harapan pada diri sendiri agar dapat menjadi guru yang baik
harapan semoga paragraf terakhir memang benar-benar terjadi dalam gulatan-gulatan pikiran mereka
selesaikanlah akhir ceritamu
ini hanya kubuatkan settingnya
~dhe
21/05/2015
memoriam peristiwa 04/09/2014


Share:

0 komentar