Elegi
aku yakin ini hanya udara dingin yang membuatku menggigil
***
Pagi itu, disebuah desa terpencil di wilayah Bali Utara. Jauh dari gambaran Bali yang hingar bingar penuh dengan turis mancanegara maupun turis lokal. Di sebuah asrama berlantai tiga di puncak bukit, dimana dari balkon setiap kamar di lantai tiga tersebut terlihat pemandangan pantai sekitar 15 km bila ditarik garis lurus. Udara dingin di desa tersebut bertolak belakang dengan udara di kota kecil yang hanya berjarak 20 menit perjalanan. Di kota kecil tersebut udara terasa panas dan lengket, pengaruh pesisir. Suara cericit burung bersahut sahutan dengan suara angin.
Suara pemberitahuan sebuah situs jejaring sosial berbunyi dua kali, layar ponsel berkedip sesaat lalu padam kembali. Tak lama, sebuah tangan meraih ponsel di atas meja tersebut dan membuka kunci layarnya. Deri Sasongko, begitulah nama yang tertera pada pemberitahuan di bagian atas layar ponselnya. Tangan itu bergetar sekilas, sebelum kemudian meletakkan kembali ponselnya tanpa membuka pesan tersebut terlebih dahulu.
Helaan nafas sesudahnya terdengar cukup berat. Gemericik air di kamar mandi di luar kamar menyatu dengan balkon sudah berhenti. Tak lama terdengar sebuah engsel pintu terbuka.
"Fin, aku dah selesai mandi," teriak seorang perempuan yang baru saja keluar dari kamar mandi.
"Oke Pi," sahut perempuan yang dipanggil Fin itu.
Fin mengambil handuk yang ditinggalkannya di atas tempat tidurnya sebelum mengecek ponselnya tadi, memandang sekilas ke arah ponselnya dan bergegas menuju kamar mandi.
***
Fin menimang ponselnya dan kembali melihat pemberitahuan di atas layar. Ia menutup kembali ponselnya tanpa membuka pemberitahuan itu, lagi. Fin kembali berkutat dengan tugas di depan matanya, kembali menatap layar komputer di depannya. Mencoba memfokuskan pikirannya. Ah sepertinya ia kesulitan melakukan hal tersebut. Kalimat-kalimat yang telah di ketiknya kembali ia hapus.
"Fin, makan yuk," suara Pi menghentikan aktivitas Fin di depan komputer. Jari Fin menekan tombol 'ctrl' dan 's' bersamaan sambil beranjak dari kursinya. Ditinggalkannya layar komputer dalam keadaan menyala tanpa menutup file kerjanya, menyusul Pi dan kawan-kawannya, berhaha hihi.
"Hai Na. . . "
"Gimana kabarmu?"
Dua baris pesan singkat pagi tadi akhirnya dibukanya. Nafas Fin terhenti sesaat, jemari bergetar. Fin menghembuskan nafas sepelan mungkin, mencoba terlihat tak ada apapun sedang terjadi pada dirinya. Berusaha menguasai diri.
"Hai juga ri . . ."
"Baik, kamu gimana?"
Dengan cepat diketiknya balasan, mematikan nada dering ponselnya dan menyimpan ponselnya. Berusaha tidak terganggu dengan keberadaan ponsel dan menggabungkan diri. Beberapa kali tangannya menyentuh saku roknya, dimana ponselnya berada. Secepat ia menyentuh saku roknya dan merasakan ponselnya, secepat itu pula ia menggenggam tangan urung meraih ponselnya.
***
Deri : "Baik juga na . . ."
Deri : "Na,, maafin aku ya na . . ."
Fin : "Ga ada yang perlu dimaafkan"
Fin : "Aku baik baik saja"
Fiana, ya itulah namanya. Deri memanggilnya Na, dulu. Teman-temannya lebih banyak memanggilnya dengan panggilan Fin, bukan Fia. Fin menggigil, ditariknya selimut hingga menutupi kepalanya dan mulai memeluk dirinya. Mencoba tidur.
Jangan minta maaf lagi. . . Aku mohon . . .
***
"Fin, kamu semalem mimpi apa?" tanya Pi tiba-tiba.
"Kenapa gitu Pi?" balasnya.
"Engga, kamu ngigo nangis sampe keluar air mata. Aku bangunin ga bangun, dasar kebo. Kamu kurang puk puk ya, aku puk puk kok berenti nangisnya," kata Pi sambil tertawa.
"Sialan,, hahaha. Emangnya aku nangis beneran?"
"Iya, dodol. Mimpi gaji ga cair ya?" Pi makin keras ketawa.
Fin ikut tertawa sambil menyahut," Iya kali, salah sendiri tu gaji ga turun-turun."
Jadi aku masih nangis dalam tidur lagi. Setelah sekian tahun.
***
empat tahun sebelum Bali . . .
Sekretariat mapala kampus Universitas Komputer. Bandung malam itu, basah, lembab, dingin, sisa sisa hujan. Bau aspal, tanah dan rumput setelah terkena hujan. Temaram, melingkupi udara kampus malam itu. Fin dan teman temannya baru saja pulang nonton dan kemaleman untuk dapat kembali ke kos masing-masing. Sekretariat bekas rumah dinas menjadi pilihan untuk tidur malam itu. Seperti biasa para perempuan mengakuisasi ruangan bagian barat, dan para cowok harus rela mendapatkan ruangan di bagian timur dekat kamar mandi.
Fin, langsung merebahkan badan. Tidur tengkurap dengan tas masih di punggungnya. Terlihat terlalu capek yang dibuat buat. Agar ada alasan ia dapat segera menengkurapkan badannya. Dadanya sudah terlalu sesak, matanya sudah terlalu panas dan badannya sudah terlalu bergetar. Fin hanya ingin segera menyembunyikan mukanya di balik bantal bau sekretariat. Memejamkan matanya kuat kuat. Berusaha tertidur.
Setengah sadar, Fin merasakan dadanya semakin sesak dan telaganya mengalir. "Fin,, Fin,," ia mengenal suara itu. Ia merasakan bahunya diguncangkan sepasang tangan yang sangat di kenalnya. Tapi ia tak hendak bangun, tidak dengan keadaan dadanya yang semakin sesak. Sesak yang ketika ia dalam keadaan sadar sepenuhnya ia tekan sedalam mungkin. Sesak yang sudah di tahan sejak sore tadi. Sesak yang ia sembunyikan di balik ceria yang berlebihan. Tidak, ia tidak ingin bangun. Tidak, ia ingin tidur. Di sisa kesadarannya yang minim, ia merasakan sepasang tangan membentangkan selimut bau menutupi tubuhnya, memegang kepalanya hingga dengan ajaib mengantarkannya benar benar tidur membawa sesaknya.
"Teteh, semalem mimpi apa?" tanya salah satu juniornya.
"Gatau eung, kenapa gitu? Teteh ketiduran," jawab Fin.
"Iya ih, cepet banget teteh tidurnya. Itu, semalem teteh ngigo nangis, dibangunin kang Deri ga bangun-bangun," jawab juniornya itu.
"Waah, bakal jadi bahan buli anak-anak gini mah. Pake ngigo segala," sahut Fin sekenanya.
"Ga akan teh, aman. Anak-anak masih pada di luar reramean semalem, cuma Nta sama Kang Deri aja yang tau," jelas Nta panjang lebar.
"Selamat deh gua," kata Fin sambil ngakak. Tangannya meremas mencoba menahan sesak yang kembali bergolak.
Fin bergegas mengemas barangnya yang tak banyak. Ia beranjak hendak segera pulang ke kosannya.
"Semalem kenapa?" suara Deri yang tiba-tiba menghadangnya di pintu mengagetkan Fin.
"Gapapa," Fin hanya menjawab lirih sambil tersenyum kaku. Tiba-tiba terasa nyeri di sekujur badannya.
"Aku pulang ya," lanjut Fin semakin lirih hampir tak terdengar sambil mencoba menerobos cegatan Deri.
"Fin . . .," Deri menahan tangan Fin. Fin hanya tersenyum sambil berusaha melepaskan tangan Deri. Fin tau batas dirinya, dan ia hampir mencapai batas itu. Terlambat sedikit telaganya akan menggenang, dan Fin tidak mau itu. Tidak di depan Deri dan anak-anak mapala. Fin segera berlalu menghampiri anak-anak di depan. Fin tau, Deri tidak akan mungkin berteriak memanggil namanya untuk menahannya. Tidak di depan anak-anak ini. Ia menyapa dan berpamitan dengan sangat ceria seperti biasa.
Fin berjalan cepat, telaganya mulai menetes. Harga diri dan keangkuhan Fin mendorong kedua kakinya untuk berjalan semakin cepat.
Mungkin akan lebih baik kalau kamu berhenti bersikap seolah peduli padaku.
***
Surabaya
Gerimis sisa hujan seharian tadi masih menyelimuti Surabaya malam ini. Udara dingin menghiasi Surabaya yang biasanya sangat panas bahkan di malam hari. Fin menggigil di atas tempat tidurnya. Tangannya masih gemetar memegang ponselnya. Di layar ponselnya terpampang dua baris pesan berisi sapaan dan pertanyaan kabar dengan nama pengirim Deri Sasongko.
"Hai juga. . ."
"Aku baik, kamu dan keluarga apa kabar?"
Fin meletakkan ponselnya lalu meraih remote televisi. Menyalakan televisi, mencoba menikmati acara lawak yang sedang di sajikan salah satu televisi swasta. Tak lama kemudian, nada dering pemberitahuan pesan masuk berbunyi dua kali.
"Aku dan keluarga baik juga. Cuma mamah agak kurang sehat, minta doanya ya."
"Na,, maafin aku ya."
Fin menyerah menonton televisi, ia mematikannya. Ke kamar mandi, membasuh mukanya dan lalu mengadu pada Tuhannya. Fin tak lagi menahannya, seperti tahun tahun lalu. Fin menangis sepuasnya, hingga matanya bengkak. Tinggal di apartemen sederhana sendirian, cukup membantunya meluapkan sesak di dadanya tanpa harus terbebani oleh tanya kenapa dan ada apa. Lima tahun telah berlalu, sejak ia meninggalkan Bandung atau satu tahun sejak ia meninggalkan Bali pindah ke Surabaya.
Tiga jam kemudian, lewat tengah malam.
Fin, meraih ponselnya, "semoga mamah selalu sehat dan diberikan umur panjang."
Fin naik kembali ke tempat tidurnya, menyelimuti tubuhnya yang mengigil. "Aku hanya kedinginan oleh udara Surabaya malam ini," kata Fin kepada dirinya sendiri.
Sangat mudah memaafkanmu, tanpa kamu meminta maaf berulang kali pun bahkan tanpa kamu meminta maaf sama sekali pun aku memaafkan kamu. Hanya satu orang yang belum bisa kumaafkan hingga saat ini. Dan orang itu aku.
0 komentar