Taman Siswa. Kapan?
Saat sebagian besar siswa tak senang di sekolah, di sebagian besar waktunya di sekolah mereka mengeluh. Sebuah pertanyaan besar dengan tanda tanya besar menunggu untuk segera di jawab.
***
Taman siswa. Mengapa Ki Hajar Dewantara, bapak pendidikan Indonesia menamakan sekolah yang didirikannya dengan nama taman siswa?
Taman, sebuah tempat dimana manusia yang datang ke sana datang dengan sukarela. Mereka suka dan mereka rela. Senang hati dan tanpa paksaan orang datang ke sebuah taan. Bergembira melaksanakan apapun aktivitas yang dilakukannya di taman. Taman siswa, harapannya di sekolah itu siswa datang dengan sukarela dan merasa bergembira datang ke sekolah layaknya mereka datang ke sebuah taman.
Berkaca pada situasi sekolah dewasa ini. Ah, jangan terlalu luas, situasi sekolah tempatku mengajar dan pernah mengajar. Tentu tak bisa dipukul rata untuk semua sekolah di Indonesia.
Bila anda seorang guru, bagaimana perasaan anda atau paling tidak apa yang terlintas di benak anda ketika di dinding-dinding jejaring media daring anda bertebaran kalimat-kalimat kekecewaan, kalimat keluhan akan berjalannya sebuah sekolah dari siswa-siswa anda. Bagaimana setiap anda bangun pagi, dinding jejaring media daring yang anda punya berisi ungkapan-ungkapan ketdaksemangatan siswa untuk berangkat sekolah.
Pun saat anda sampai di sekolah, yang menyambut anda bukanlah wajah-wajah penuh semangat ataupun wajah-wajah bergembira. Sepagi kabut, sesuram itu pula wajah-wajah itu. Bayangkanlah siswa belasan tahun memiliki pemikiran untuk melakukan aksi menolak kebijakan pemerintah mengenai keberlangsungan sekolah mereka.
Kabar buruknya, hal tersebut terjadi pada sebagian besar siswa bukan hanya segelintir dua gelintir siswa yang mungkin memiliki tingkat kekritisan yang sangat tinggi. Dengan emosi anak belasan tahun yang masih labil dan mudah terbawa suasana, mudah terbawa arus, hal ini menjadi semacam kartu domino yang telah digulingkan ujungnya. Merambat dengan cepat dan akhirnya rata.
Sugesti-sugesti negatif harus mereka telan sepanjang hari, sepanjang waktu. Dengan maraknya jejaring sosial, sebuah sugesti negatif akan dapat berdampak sangat besar bila ia menjadi viral. Tentu saja di kalangan para remaja mudah sekali membuat viral isu-isu yang bahkan mungkin mereka belum tahu benar dengan kebenarannya. Yang penting isu itu sesuai dengan yang dirasakannya, maka menjadi sebuah hak yang layaknya kewajiban bagi mereka untuk memviralkannya.
Bila sebagian besar penghuni sekolah sudah tak nyaman dengan sekolahnya, sudah tak senang dengan kedatangannya di sekolah, sudah tak betah berada di sekolah, sudah memiliki banyak fikiran bercabang di luar sekolah. Adakah sekolah itu menjadi taman atau layaknya penjara, dimana orang yang datang ke sana harus dipaksa, merasa terbebani, merasa tidak nyaman, merasa terkekang dan ingin segera keluar.
Kalau sudah begini, siapa yang salah? Siapa yang harus disalahkan? Apakah ada yang salah dengan sekolah itu? Entah. Yang pasti ada sesuatu yang tidak terletak pada tempatnya.
Solusi?
Sudah sangat banyak solusi yang diberikan oleh para ahli pendidikan. Bagaimana pembelajaran yang menyenangkan. Bagaimana pembelajaran yang berpusat pada siswa. Bagaiamana pembelajaran yang memacu siswa untuk memiliki rasa ingin tahu. Bagaimana pembelajaran yang ideal.
Nyatanya?
Model model pembelajaran yang diterapkan, metode metode pembelajaran yang digunakan, pendekatan pendekatan pembelajaran yang dilaksanakan, belum menghasilkan hasil yang signifikan.
Hal ini, apakah karena bersekolah adalah sebuah kewajaran dalam gaya hidup saat ini. Keinginan untuk sekolah tak lagi murni untuk mencari ilmu, akan tetapi mencari gengsi. Agar naik derajat seseorang di mata masyarakat.
Bilakah sekolah menjadi sebuah taman?
0 komentar