Cimoy Melenoy Amboy
(pic source :dokumen pribadi)
Berbicara
mengenai berkenalan dengan alam, mungkin bapak adalah tersangka utama yang
menancapkan kecanduan akan alam. Walau tak banyak yang kuingat, setidaknya aku
ingat ada pagi dimana aku diajak bergaul dengan sungai. Bapak berjalan kaki dan
aku bersepeda yang masih beroda bantu. Kami berhenti di dekat jembatan,
memarkir sepedaku kemudian turun ke sungai mencoba menangkap ikan. Hingga kala
ku telah mampu bermain sendiri, sungai adalah tujuan bermain terasyik bagiku
dan teman-teman di kampungku. Yah walaupun setelahnya diomeli ibu dari a ke z
kembali ke a hingga sampai z lagi.
Setidaknya
aku ingat, ada pagi dimana aku masih bersepeda dan bapak berjalan kaki. Kami menyusuri
jalan di kota kecilku yang dikelilingi bukit dan gunung. Hingga sampai kini aku
masih tak bisa tak kagum dengan kota kecilku ini. Aku masih selalu menyempatkan
diri berhenti atau setidaknya melambatkan laju sepeda motorku hanya untuk
menikmati pemandangan yang memanjakan mata di spot-spot tertentu yang selalu
magis. Ah, berbicara tentang spot magis dan bapak, bahkan hingga saat ini
ketika bapak hendak pergi ke suatu tempat dan melewati spot yang berpemandangan
menyenangkan pasti bapak akan mengajakku. Kemudian di spot yang beliau maksud,
beliau akan menghentikan kendaraan yang kami tumpangi untuk sekedar menikmati
sebentar bentangan alam yang tersaji di depan kami. Foto? Ah jangan harap. Kami
terlalu menikmati hhingga lebih seringnya lupa untuk mengabadikannya dalam
bentuk foto. Setidaknya mereka abadi dalam ingatan kami yang terbatas ini.
Setidaknya
aku ingat akan pantai-pantai yang dimana tangan kecilku digenggam erat oleh
tangan besarnya. Khawatir akan besarnya ombak. Atau pantai dimana aku
dibiarkannya mandi-mandi di bibirnya. Atau tentang istana istana pasir yang diajarkannya
kepadaku agar aku bisa menyusunnya sendiri. Atau tulisan-tulisan namaku di atas
pasir basah yang kemudian hilang oleh ombak yang menepi. Atau bintang-bintang
laut yang dicarikannya untukku. Atau tentang cangkang-cangkang kerang yang
bagus-bagus untukku bawa pulang sebagai oleh-oleh dan mainan. Atau mengenai
matahari tenggelam dan matahari terbit yang tidak akan dilewatkannya setiap
kami ke pantai di desa nelayan, rumah pertama ibuku juga rumah pertamaku
melihat dunia. Dan tentu saja tentang nasihat-nasihatnya tentang ketuhanan dan
ilmu Tuhan yang tidak akan habis jika dituliskan walau seluruh air laut di
dunia ini dijadikan tinta bahkan hingga berlipat tujuh kali.
Setidaknya
aku ingat hari dimana aku diajak bapak naik angkot bersama siswa-siswa SMA yang
bapak ampu menuju air terjun yang indah untuk rihlah. Para siswa osis yang
sudah mbak mbak dan mas mas dikintili oleh bocah kecil imbas imbis yang
kesenengan melihat air menggerojok sangat deras dan sangat indah. Sekarang air
terjun itu sudah menjadi objek wisata alam yang cukup digemari di Kabupaten
Magelang. Air terjun kedung kayang, itu namanya. Dulu jalanannya masih berbatu
tajam-tajam. Belum ada pagar pembatas, ngeri sekali ketika kita berjalan
kemudian disampingnya jurang menganga. Masih tangan kecilku digenggam tangan
besarnya. Tentang Grojokan Sewu Tawangmangu di Karanganyar yang banyak kera
nya. Tentu saja masih tangan kecilku di dalam tangan besarnya menyusuri setiap
anak tangga yang tak ada habisnya. Pelangi di bawah air terjun, yang mana aku
terkagum-kagum. Kukira pelangi hanya ada di atas, ternyata ada juga di bawah. Tanpa
kutahu bahwa pelangi bisa kulihat dimana saja asal bisa mendapatkan pembiasan
cahayanya.
Nah
tentang gunung, aku memiliki dua tersangka pertama yang akan kudakwa menghipnotis
alam bawah sadarku hingga memberikan efek kecanduan yang teramat sangat terhadap
gunung. Tersangka pertama tentu saja masih bapak. Setidaknya aku masih ingat
berjalan menyusuri bukit menembus perkebunan tebu demi mencari bukit rhema. Ada
apa dengan bukit rhema? Anak milenial tentu tak asing dengan bukit rhema,
dimana di atasnya ada gereja ayam yang sangat viral setelah muncul di film AADC
2. Masa itu, tidak ada internet setidaknya di kehidupan kami jadi tentu saja
kami tidak bisa berselancar di mbah google. Kami berselancar dari mulut-mulut
orang yang mengatakan bahwa bukit rhema tak jauh dari perkebunan tebu di timur
kampung kami. Yang kami tidak tahu, tak jauh adalah bukan ukuran kaki kami
sepertinya tak jauh adalah ukuran kaki para tentara yang memang menggunakan
gugusan bukit itu sebagai tempat berlatihnya.
Tersangka
pertama yang kedua adalah pak guru. Kami kadang menjuluki beliau dengan nama
pak Londo (bule) karena wajah beliau adalah wajah bule. Pak guru adalah guru SD
ku. Pernah suatu ketika diajaknya kami berdua puluh enam anak SD mendaki bukit
yang jauh dibelakang sekolah kami. Puncak banyak angkrem di perbukitan menoreh
yang kami tuju. Kalau kupikir-pikir, nekat juga pak guru kala itu. Mengajak
kami, dua puluh enam anak SD beserta tigkah polahnya, menempuh perjalanan yang
cukup ekstrim dengan hanya beliau sendirian sebagai penanggung jawabnya. Beruntung
dulu belum ada netijen julid atau orang tua siswa over protektif yang galak
sama guru.
Berbicara
tentang gunung, tak terbayang aku yang lembek ini akan dapat menapaki beberapa
puncaknya. Kesadaran akan jatuh hati pada pendakian sepertinya sudah dimulai
sejak pertama kali aku menamatkan novel 5cm kala SMA di tahun 2006. Novel yang
ditahun 2006 masih berupa novel obral dan belum menjadi novel viral. Belum ada
label best seller di sampulnya. Novel yang kudapatkan dengan harga murah ketika
mengunjungi stand bazar saat mengikuti lomba mading. Novel yang sangat kusuka
karena cerita pendakian yang mengesankan dan banyaknya hikmah yang dapat
dipetik di sepanjang alur novel. Novel kesayangan karena novel pertama yang
dibeli dengan menyisihkan uang saku pas-pasan seorang bocah SMA pinggiran.
Novel yang sekarang entah berada dimana sejak ia menjadi booming.
Langkah
pertamaku mengenal gunung sebenarnya yang bukan bukit dimulai dari diklatsar
lapangan KSR yang tak pernah kusangka akan seberat itu. Menggendong keril berisi
logistik yang sangat berat, setidaknya bagiku yang baru pertama kali mengalami,
sambil berjalan sangat jauh alias long march dari kampus menuju puncak lalu
kembali ke kampus lagi. Pingsan di tiga puluh menit pertama perjalanan,
memalukan. Selanjutnya berjalan setengah sadar, bahkan hingga hari ketiga. Hampir
menangis di hari kedua dan kembali pingsan dan pingsan lagi sampai tidak
terhitung. Ditarik, didorong, disemangati, diteriaki semua mental secara jalannya
juga setengah sadar kan. Rasanya beban semakin berat di pundak, kaki semakin
pegel dan tanjakan semakin setan. Hari kedua benar-benar hari yang sangat
menyiksa. Anehnya aku tak ingin pulang, disaat temanku yang lain ada yang ingin
pulang. Begitulah bocah miskin ambisi ketika sudah berhasrat, raga dan pikiran
mengatakan menyerahlah kalah oleh hati yang berkata berjuanglah.
Puncak
pertamaku, benar-benar pertama, karena saat mendaki bukit bersama bapak dan pak
Guru, aku benar-benar tak sampai puncaknya, adalah saat diklatsar itu. Hari
ketiga berjalan, tengah hari, puncak tangkuban perahu. Puncak gunung yang di
atasnya ada tower dan lebih sering berkabut. Puncak yang dari sana, ketika
cerah bisa melihat Bandung setidaknya Lembang. Puncak yang sebenarnya bisa dicapai
menggunakan mobil offroad, tapi kami
menempuhnya dengan jalan kaki berdarah-darah. Puncak pertamaku yang dihiasi
dengan kabut, hujan, angin dan nasi campur mie instan remuk serta abon dan air
hujan yang dimakan rame-rame. Anehnya tetap enak.
Cimoy
melenoy amboy, itulah nama rimba yang kudapatkan. Nama ini kudapatkan di hari
keempat pagi. Kang dani atau kami memanggilnya dengan nama kang Damon karena
ada dua Dani di KSR, yang memberikannya. Kang Damon ini adalah komandan
operasional yang mana selalu bersama kami para peserta diklatsar disamping
tatib dan dansis. Akang ini yang paling tahu bagaimana masing-masing kami,
khususnya di perjalanan. Tiga hari pertama memang didominasi perjalanan
panjang.
Nama
rimba biasanya diberikan sesuai dengan kekhasan masing-masing siswa. Misalnya,
temanku mendapat nama “Gordes Ponori Dower”. Gordes berasal dari kata gorowok
desa yang konotasinya ada orang yang suka berteriak-teriak. Ponori dari mpok
nori yang mana beliau suaranya keras dan cempreng. Dower berasal dari –maaf–
dobol di tower, karena temanku yang ini pas di puncak tower kebelet pup padahal
lagi kabut, hujan dan angin yang mana kami harus sangat cepat-cepat pergi. Atau
temanku yang lain namanya “cingir rawit tarsit”. Cingir rawit adalah cabe rawit
yang kecil-kecil pedes naudzubillah, nah temanku yang ini anaknya kecil tapi
kuat dan gesit. Tarsit berasal dari kata tarsan situ, lagi-lagi karena suara
teriakannya kali ini paling keras saat di situ (danau).
Cimoy
melenoy amboy, sepertinya tanpa dijelaskan satu persatu sudah jelas kenapa
namaku cimoy melenoy amboy. Ya tentu saja karena selama 4 hari itu aku melenoy
terus kaya cimol yang udah kena angin. Biar asoy jadinya, si akang ngasih
namanya bukan cimol melenoy tapi cimoy melenoy. Biar makin yahud ditambahi pake
amboy ya secara tiga hari melenoy terus, kurang amboy apa itu perasaan DanOp
dan tatib dapet siswa macem aku ini. Kemelenoyanku ini banyak berkurang di hari
keempat dan kelima, karena mungkin sudah terbiasa dan tidak adanya perjalanan
panjang. Hari keempat dan kelima lebih banyak diisi materi dengan perjalanan
singkat hingga sedang antar tempat materinya.
Kemelenoyanku
muncul kembali di hari keenam, puncaknya diklatsar. Kali ini kemelenoyanku
lebih banyak karena fisik sudah lelah dan tekanan lebih ditambah (aku tau
tekanan ditambah di hari terakhir ini saat sudah jadi panitia, gitu strateginya
guys agar kami kompak dan merasakan senasib sepenanggungan dalam satu
angkatan). Tidak seperti hari pertama hingga ketiga yang aku berjalan setengah
sadar, hari keenam ini aku sadar sepenuhnya hingga rasa sakit karena kutu air
di kaki yang terkena kerikil kerikil runcing terasa sangat nyata. Pun teriakan-teriakan
panitia yang mendadak jadi tatib semua terdengar sangat nyata. Kalau dikatakan
pendakian pertamaku berdarah-darah, itu nyata sekali bukan kiasan lagi. Kaki
sudah tidak berbentuk kaki lagi. Apalah aku yang pemula dan tidak tahu apa-apa
tentang menejemen pendakian saat musim hujan.
Angkatan
kami dinamakan angkatan raincoat, karena memang setiap hari kami menggunakan
jas hujan kecuali saat tidur. Jalan, masak, makan, materi, dihukum, bahkan sholat
kami menggunakan jas hujan karena qadarullah kami hampir selalu diguyur hujan.
Bahkan saat kami tidur, tak jarang diguyur hujan. Bivoac yang kami bangun harus
benar-benar bisa melindungi kami dari hujan, sungguh tantangan. Pendakian pertama
sekaligus berkenalan dengan alam agak liar pertama yang terlalu berkesan.
Selain dididik oleh senior, aku dididik pula oleh alam dengan cuacanya. Kapok?
Sayangnya tidak. Bahkan setelah seminggu kaki bengkak dan tidak bisa berjalan.
Bahkan setelah diomeli ibuk seminggu penuh saat pulang ke Magelang. Tidak bisa
kapok, tahun-tahun selanjutnya sudah bisa gendong keril berat sambil lari-lari
ke depan ke belakang barisan siswa peserta diklatsar sambil teriak-teriak. Tiga
tahun setelahnya, mulai menapaki satu demi satu puncak-puncak gunung yang lain.
Aku
kecil adalah bocah lembek yang napasnya satu satu. Bocah yang tidak akan
memberikan catatan waktu bagus untuk lari yang bahkan hanya 100 meter. Aku
dimasa kuliah pun tak jauh beda mungkin, jika saja di tengah masa SMA ku, aku
tak mengenal mereka sahabat-sahabatku yang penggila basket yang membuat kami
bermain hingga lupa waktu. Aku di masa kuliah mungkin akan tetap menjadi bocah
lembek bernapas satu satu jika saja di penghujung masa SMA ku, aku tak
berambisi mengikuti seleksi TNI yang kemudian memaksaku berlatih fisik keras.
Walaupun akhirnya aku harus meletakkan ambisi tersebut karena tak sepakat
dengan permasalahan jilbab. Aku di masa kuliah mungkin akan tetap imbas imbis
jika saja semasa SMA aku tak mengikuti PMR sehingga melaluinya aku mengenal KSR
yang mana adalah organisasi pertama yang kucari bahkan sesaat setelah aku
daftar ulang di bagian akademik kampus.
Sampai
sekarang, aku masih belum bisa menyamai kuatnya langkah perempuan-perempuan
pejalan lainnya. Aku yang masih bernapas satu-satu di setiap tanjakan. Aku yang
masih berjalan pelan sambil menikmati pemandangan (ini lebih ke alibi sih
wkwk). Tak apa, aku menerimanya dan alhamdulillah selalu mendapatkan sahabat
berjalan yang baik yang mau menerima kemelenoyanku dan membersamaiku dengan
sabar walaupun dibumbui sedikit ejekan hangat. Aku suka. Inilah aku cimoy
melenoy amboy yang sudah ga terlalu melenoy kaya cimoy karena cimoy jaman
sekarang sudah lebih setrong dan tentu masih tetap amboy.
~dhe
Magelang, 19 Mei 2020
#salamliterasi
#salamliterasi
Versi
draft pertama atau versi singkat dapat di baca di unggahan instagram dengan
akun KuKita.Kata dengan judul Cimoy Melenoy Amboy (1) dan Cimoy Melenoy Amboy
(2). Cari gambar yang seperti gambar di awal cerita ini untuk membaca cerita ini di instagram kukita.kata.
Jika berkenan boleh kita saling follow juga, klik di sini.
Jika berkenan boleh kita saling follow juga, klik di sini.
Terimakasih sudah mampir dan membaca
cerita kemelenoyan ini. Jangan lupa tinggalkan jejak di kolom komentar ya.
Boleh di bagikan juga jika berkenan lagi.
0 komentar