Janji - Promise


Apa sebenarnya arti janji itu. Kata orang janji adalah hutang dan hutang harus dibayar, harus dilunasi. Janji,, bukankah ia harus dijunjung tinggi,, ditepati. Karena bila tidak dijunjung tinggi, tidak ditepati bisa jadi membuat orang yang ditinggali janji tersebut akan terluka. Dan bila luka telah tertoreh di hati, siapa yang akan menjamin luka tersebut akan sembuh?
Tidak ada yang akan berani menjamin. Apalagi luka hati,, dan tentu janji yang teringkari menorehkan luka di hati bukan di tubuh. Sebegitu pentingnya menepati janji, hingga orang yang mengingkari janji digolongkan ke dalam golongan orang-orang munafik. Sama halnya dengan dusta. Janji diikrarkan melalui mulut, janji bermula melalui omongan. Ikrar janji yang diingkari berarti mulutnya berdusta. Berarti dalam diri orang yang mengingkari janji terdapat dua ciri orang yang munafik. Dusta dan ingkar janji. Wallohu'alam.

Astaghfirullahaladzim,, hamba memohon ampun kepadamu ya Rabb,, atas semua janji yang pernah kuingkari baik yang kusengaja maupun yang tidak kusengaja. Entah apa yang sedang dan telah terjadi saat ini. Janji-Janji banyak bertebaran. Rasanya manis sekali ketika mendengarnya. Raut muka serius dan bersemangat. Mimik wajak dan geraktubuh yang meyakinkan. Ucapan yang berapi-api, meluapkan kata demi kata janji. Janji banyak sekali beterbangan dari mulut siapapun. Entah itu calon presiden, calon anggota DPR, calon wakil rakyat, calon anggota sebuah organisasi, dan calon-calon yang lain, tak mau ketinggalan janji seseorang kepada kekasihnya atau calon kekasihnya (saat itu). He. Janji yang selalu terdengar sangat manis, menumbuhkan dan menyuburkan pohon harapan di hati orang-orang yang mendengarnya, orang-orang yang punya harapan, orang-orang yang ditinggali janji itu.

Akan tetapi,, janji yang mudah diucapkan itu (hingga oang-orang berebut mengucap janji) ternyata sangatlah sulit untuk dilaksanakan. Sulit untuk ditepati. sedangkan tentunya orang yang ditinggali janji sangat ingin dan menuntut janji itu (karena itu haknya, mendapatkan aksi nyata atas janji yang telah ditinggalkan kepadanya). Akan tetapi, janji yang terdengar manis ketika diucapkan, membuat benih harapan tumbuh subur, acapkali terasa sangat pahit ketika mengetahui kenyataannya bahwa janji itu tak pernah ditepati, janji itu teringkari, janji itu tak terpenuhi. Dan kembali, kita diingatkan akan hati, bahwa janji itu berhubungan dengan hati. Bila janji telah dilukai, maka tentu hati pun akan ikut terluka.  Siapa yang akan menjamin kesembuhan hati yang terluka? Bahkan orang yang legowo sekalipun tidak akan sembuh luka hatinya, yang ada hanyalah berdamai sehingga tidak akan ada rasa benci menyelimuti hati sehingga mampu memaafkan atas janji yang teringkari. Sehingga tidak akan ada rasa benci terhadap si pengucap janji. Sehingga mampu memaafkan atas janji itu. Namun, yang perlu diingat memaafkan bukan berarti menghapus tanggung jawab atas suatu kesalahan, memaafkan mendamaikan si pemberi maaf sehingga benci tidak akan mengungkung diri. Tanggung jawab atas kesalahan ya tentu saja memperbaiki kesalahan dan tidak mengulangi kesalahan yang sama lagi. Ingkar janji adalah kesalahan,, jadi perbaikilah, penuhilah tanggungjawabmu,, tepatilah janjimu. Bukankah terlambat lebih baik daripada tidak? Maka, hati-hatilah dengan janji, dimulai dengan hati-hatilah dengan mulutmu. Bukankah pepatah bilang mulutmu harimaumu.

Alangkah indahnya bila semua orang menepati janjinya. Tidak akan ada pertengkaran karena keingkaran atas suatu janji. Sepasang kekasih tidak akan saling melukai dengan janjinya. Tidak akan ada koruptor bila semua pejabat yang katanya wakil rakyat itu menepati janji yang diucapkannya ketika kampanye maupun disumpah ketika ia dilantik. Tidak akan ada rakyat yang kecewa atas para wakilnya di atas. Dan yang pasti tidak akan ada hati yang terluka. Itulah hidup, berandai-andai dan menghayal. Walau mungkin sangat sulit mencapai angka 100% semua orang akan amanah, akan menepati janji, akan jujur. Karena tentunya manusia toh tetap punya nafsu,, manusia toh tempatnya salah dan lupa. Akan tetapi manusia juga dibekali akal dan pikiran yang tentunya harus digunakan dengan bijaksana. Meminimalisir merupakan jalan mutlak yang harus ditempuh. Caranya? Dimulai dari diri sendiri tentunya. Dari diri saya, belajar untuk menepati janji yang telah ditinggalkan. Bukan berarti takut dan tidak mau berjanji. Janji mutlak penting diperlukan, sebagai pegangan agar seseorang dapat dipercaya, janji dapat dijadikan ukuran apakah orang tersebut layak untuk dipercaya ataukah tidak. Yang harus dilakukan adalah belajar untuk menepati janji,, berusaha semaksimal mungkin, seoptimal mungkin untuk menepati janji.


Belajar dari matahari, janji akan terang yang diikrarkannya di senja hari pasti akan ditepatinya ketika fajar menyingsing di ufuk timur. Begitu sebaliknya, janji akan gelap yang diikrarkannya di kala fajar akan dipenuhinya kala semburat senja mulai menelannya di ufuk barat.

Belajar dari hujan,, Hujan tak pernah menjanjikan pelangi walau pelangi sangat indah. Tak seorangpun akan keberatan atas sebuah janji pelangi. Hujan tak pernah menjanjikannya. Hujan hanya menjanjikan basah dan kesegaran. Dan janjinya selalu ditepatinya. Hujan pula tak pernah menjanjikan mendung, mendung juga tak perrnah menjanjikan hujan.
Belajar menepati janji..
Terinspirasi atas sebuah harapan yang masih tergantung tinggi, sebuah harapan yang masih subur walau telah dipangkas dan terus dipangkas yang celakanya semakin dipangkas semakin suburlah pohon harapan itu, sebuah harapan atas sebuah janji yang entah akan ditepati atau tidak, sebuah harapan atas sebuah janji yang semakin kabur dan bias walau sinarnya masih menyebabkan fotosintesis di pohon harapan berlangsung membuatnya tetap subur, sebuah harapan atas sebuah janji yang telah terputus ikatannya akan tetapi perbedaan keelektronegatifannya masih terasa kuat membuat ikatan senyawa harapan masih tinggi untuk selalu terbentuk. sebuah tulisan lecutan semangat untuk belajar menepati janji, untuk berhenti berkata dusta, untuk belajar kembali menjadi makhluk Tuhan, walau diri mungkin telah hina.
Benar kata para kyai dan ustadz,, Gantungkan hidupmu hanya kepada pemilik Hidup.. Gantungkan harapanmu hanya kepada penguasa Hati manusia. Belajar dan terus kembali belajar. Menjadi manusia yang lebih baik ke depannya. Amiin..

Share:

0 komentar