Benarkah Menulis Bukan Bakat?

(pict source : islamic.co)

Malam ini saya terombang ambing oleh pernyataan pak Ngainun Naim di kelas belajar menulis. Sebenarnya sederhana saja kalimat-kalimatnya.

"Banyak orang mau menulis, tapi tidak mampu melakukannya"
"Ada pula orang yang mampu menulis, tapi tidak mau melakukannya"
"Mau dan mampu menulis adalah anugerah"

Benar-benar sederhana kalimat, tapi dasarnya otak saya terlalu gemar menyambung-nyambungkan segala sesuatu, maka saya merasa terombang ambing.

Beberapa tulisan ke belakang, saya menuliskan judul "Menulis Bukan Bakat". Menulis adalah sebuah keterampilan yang harus terus menerus di asah. Sedikit banyak saya setuju dengan pernyataan tersebut. Keterampilan apapun jika dilatih terus menerus akan semakin bagus.

Berbicara bakat, selama ini saya percaya, memang ada beberapa orang yang memang dianugerahi bakat. Disisi lain, saya pun percaya orang dengan kemauan keras yang terus melatih keterampilannya pun akan dapat bersaing dengan mereka yang berbakat. Namun, jika orang berbakat berlatih sekeras orang yang "tidak berbakat", akankah orang tak berbakat masih mampu bersaing?

Sama halnya dengan menulis. Semua orang bisa menulis. Sesederhana menulis status di status whatsapp. Namun, apakah semua yang bisa menulis itu berbakat?

Kalimat di awal tulisan ini "menggolongkan" tipe orang dalam menulis menjadi tiga golongan. Golongan mau tapi tak mampu. Golongan mampu tapi tak mau. Golongan mau dan mampu.

Mau : Mau di sini saya artikan ada hasrat. Ada keinginan. 
Mampu : Nah untuk mampu ini saya punya dua definisi. Definisi pertama adalah bisa melakukan. Definisi pertama ini yang sepertinya dimaksud oleh pak Naim. Memiliki waktu untuk menulis misalnya.
Definisi kedua adalah bakat. Mampu adalah bakat atau kemampuan untuk menghasilkan tulisan yang berkualitas. Definisi kedua dalam otak saya ini yang membuat saya mengalami mind blowing

Sebuah anugerah yang sangat perlu di syukuri, keadaan ketiga. Mau dan mampu. Terlebih jika definisi mampu nya memenuhi dua kriteria definisi di atas. Punya hasrat untuk menulis sekaligus punya bakat dan dapat terus menulis.

Pada akhirnya, deretan pertanyaan-pertanyaan di atas tidak akan pernah ada jawaban memuaskan. Mungkin benar kata orang jawa, urip iku wang sinawang. Hidup itu hanya saling memandang. Padahal apa yang kita pandang sudah pasti tidak keseluruhan. Kita --saya, sepertinya terlalu banyak berasumsi hanya dengan sekilas memandang.

Ah, tentang menulis ini. Bakat atau tidak bakat sepertinya harus tetap di syukuri. Toh dengan menulis ini, ada sesuatu yang bisa didapatkan yang tak bisa didapatkan dalam aktivitas lain. Bahkan mungkin nilainya jauh lebih tinggi dari pada materi ataupun prestasi. 

Pertanyaannya sekarang adalah, apakah akan tetap berusaha mau dan mampu menulis?


_dhe
Jogja, 3 Juli 2020



* kemudian teringat tumpukan draft di blogger yang semakin hari semakin menumpuk hanya karena pikiran-pikiran ga jelas.

Share:

0 komentar